Kita tidak bisa menyalahkan kemiskinan dengan pertumbuhan penduduk yang setiap saat meningkat begitupun dalam memandang kesuburan pria dan wanita untuk memiliki banyak anak atau tidak.Â
Keduanya bukan hal yang harus dipertentangkan karena bisa jadi hal tersebut bukan merupakan faktor utama lahirnya kemiskinan.
Di zaman dahulu, orang-orang dapat hidup bertahan dengan memiliki banyak anak meskipun mereka harus bekerja keras menghidupi anak-anak mereka.Â
Bagi mereka, anak adalah titipan yang lahir atas takdir yang sudah ditentukan, karena kehidupan dan kematian bukan persoalan pilihan tapi persoalan rahmat dari sang pencipta.
Orang-orang besar yang kita lihat namanya di deretan para politisi, pengusaha dan akademisi rata-rata lahir dari pedesaan yang mayoritas antar keluarga memiliki banyak anak.Â
Faktor banyaknya anak memantik keikhlasan sekaligus kesadaran bagi orang tua pada saat itu agar berusaha semaksimal mungkin menghidupi mereka.Â
Jika mereka berada dikalangan kelas miskin dan menengah, biasanya anak-anak turun langsung membantu keluarga dan menjadi mandiri dengan berusaha bekerja dan mendapatkan penghasilan.
Hal tersebut tentu sebuah keberhasilan dalam pendidikan keluarga. Namun di era sekarang ini, jargon "dua anak lebih baik" atau "dua anak cukup" seolah-olah menghiasi tatanan hidup di masyarakat.Â
Perubahan pola dan kebijakan pemerintah untuk membatasi keluarga memiliki banyak anak kian gencar dilakukan. Idiom "banyak anak banyak rezeki" kini mulai ditentang dengan idiom "banyak anak sulit membiayainya".Â
Lantas, apakah mereka sadar bahwa kelahiran tiap anak sudah dibarengi dengan kadar rezekinya? Inilah stigma buruk yang harus dilawan.
Dari kota sampai pedesaan, stigma tersebut berkembang dan menjadi ancaman bagi keluarga. Memiliki banyak anak bagi generasi sekarang menjadi beban yang menghantui perekonomian keluarga.Â