Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumah Tanpa Jendela, Apakah Rumah Realistis Kelas Bawah?

22 Februari 2022   16:03 Diperbarui: 11 Maret 2022   23:08 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

mikirbae.com

Rumah Tanpa Jendela (2011) adalah sebuah film kritik satir, soal ketimpangan sosial. Keprihatinan sineas pada masa depan anak-anak tanpa "rumah sehat".

Banyak kaum urban masih tinggal di rumah tipe R5SR, yang tidak lain-Rumah Sangat Sederhana Sekali Sehingga Sulit Rebahan. Meski dari segi apapun tidak layak huni, tapi tipe itu jumlahnya mayoritas di antara rumah-rumah layak huni di Jakarta. Target pengurangan kawasan permukiman kumuh di Indonesia saat ini menyisakan 12 persen di perkotaan atau setara dengan mengentaskan 7,2 juta KK dari kekumuhan 

Hingga 2020, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah bangunan hunian di Jakarta saja telah mencapai 45,04 persen. Sebaliknya, sebanyak 37,71% rumah tangga berstatus mengontrak atau menyewa rumah. Sementara, rumah tangga di Jakarta yang tinggal di rumah dinas sebanyak 1,17% pada tahun lalu.

ini-daftar-rumah-bebas-ppn-cek-aturannya-di-sini-c2d0s0fefm-62191a7f31794966ba4d6742.jpg
ini-daftar-rumah-bebas-ppn-cek-aturannya-di-sini-c2d0s0fefm-62191a7f31794966ba4d6742.jpg
okezone.com

CNNIndonesia
CNNIndonesia

Usaha pemerintah untuk memanusiawikan para urban, dengan rumah murahpun, sebenarnya sebuah dilema. Pertama, karena ukuran murah sebenarnya sangat relatif, dan kedua, rumah murah seperti melegalkan para urban mengunjungi ibukota, jika tidak diikuti dengan kebijakan anti-slum.

Kondisi itu sama-sama tidak menguntungkan bagi kelas bawah-menengah, dan bagi pemerintah sendiri, tapi harus ada solusi yang tepat sasaran.


Karena masih banyak masyarakat yang belum mampu memiliki hunian sendiri, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membuat program Rumah DP 0 Rupiah. Lewat program ini, warga Jakarta yang gajinya di bawah Rp 14,8 juta per bulan bisa mendapatkan hunian terjangkau dengan skema pembayaran uang muka nol rupiah.

Tapi kontroversi yang timbulnya, justru masalah korupsi dalam pengadaan tanah yang merugikan negara hingga Rp 152,5 miliar.

Kita pernah menggunakan solusi melalui skema Rusun (rumah susun),Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa), Rusunami, (Rumah Susun Sederhana Milik). 

Namun pemerintah salah langkah dalam menjalankan kebijakan tersebut, karena tidak diikuti dengan evaluasi guna bangunan. Jadi sejak awal kesalahan itu sudah muncul sebagai calon masalah baru. 

Karena orientasinya hanya memindahkan masalah (urban dari slum ke rusun), tapi justru membuat masalah baru, (rusun tidak didesain ramah pengguna-secara tata guna maupun sosialnya).

baca artikel lainnya; Slum Itu "Duri Dalam Daging" Ibukota

Desain tersebut dianggap gagal, karena tidak memprediksikan aspek perilaku pengguna bangunan yang ditinjau melalui Evaluasi Purna Huni (EPH) atau Post Occupacy Evaluation (POE).

Rusunami dan rusunawa, tidak hanya menimbulkan masalah sosial yang berbahaya tentang kejahatan seksual, ruang baru vandalismer dan rusaknya tata sosial, tanpa diikuti aturan yang ketat. 

Sebagai gambaran, ketika Rusunami dan rusunawa, dibangun hingga bertingkat empat atau lima, tidak diikuti dengan ketersediaan fasilitas seperti eskalator atau  lift. Tentu saja persoalannya sebenarnya sangat substansial, berkaitan dengan biaya-baik pengadaan, maupun perawatan.

Fakta ini saja telah menjadi masalah tersendiri, karena dalam kenyataannya, tanpa akses lift atau eskalator, praktis hanya bangunan hingga lantai 3 yang mudah akses bagi para penghuni rusunami dan rusunawa.

Ini saja sudah berimplikasi soal rawan kejahatan dan tindak sosial yang buruk. Lantai empat dan lima, pada akhirnya tidak dapat diakses secara normal, dan kemudian berubah menjadi ruang vandalisme dan kejahatan baru.

Padahal jika sejak awal evaluasinya menyentuh hingga titik persoalan tersebut, pemerintah tidak perlu membuang energi dan biaya untuk membangun rusunawa bertingkat banyak. 

Persoalan ini juga punya implikasi sosial lain yang justru membuat ruang slum dan urban bertambah. Pemerintah tidak konsisten dalam mengatasi areal yang "ditinggalkan" oleh para pemukim urban, sehingga membuka ruang bagi urban lain untuk mengisinya.

Kebijakan "membajak dan menanami"

Untuk Tahun Anggaran 2021, pemerintah telah menyediakan empat program bantuan pembiayaan rumah. Keempatnya yakni Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang juga diberikan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dan Tabungan Perumahan Rakyat.

Alokasi untuk FLPP sebanyak 157.500 unit senilai Rp 16,66 triliun dilengkapi SBUM senilai Rp 630 miliar, BP2BT 39.996 unit senilai Rp 1,6 triliun, dan Tapera dari dana masyarakat untuk 25.380 unit senilai Rp 2,8 triliun.

Perkampungan kumuh lantas ditangani dengan konsep community Action Plan dimana konsep ini melibatkan masyarakat setempat untuk menata permukiman kumuh. Lalu community action plan ini akan dioperasikan dengan sistem collaborative implementation plan pada satu tahun yang akan datang.

Jadi jika RW tersebut menerima program CAP pada tahun 2020, maka program CIP akan dilakukan pada tahun 2021. Program ini melibatkan 76 RW permukiman kumuh di DKI Jakarta. Pemerintah menyediakan anggaran untuk program ini untuk 76 RW sebanyak 25,5 miliar sedangkan untuk 80 RW sebanyak 558,8 miliar.

Solusi ini sederhananya seperti strategi, "membajak dan menanami". Mekanismenya bisa berbentuk, pemberian keringanan dalam mengakses rumah layak huni. Setiap areal yang telah "dibajak atau dikuasai" oleh negara harus diikuti dengan kebijakan sterilisasi lahan.

Hanya saja jika akar masalah tak pernah teratasi, urbanisasi yang berlipat setiap tahun seperti kala lebaran, tetap saja solusi rumah  layak huni tak pernah tuntas membereskan masalah. Kenyataanya, ketika rumah layak huni ditambah, urban juga berlipat ganda.Seperti lingkaran setan, Jakarta tak akan bebas slum, dan kebijakan rumah ber-DP 0 persen pun bisa nihil tanpa hasil!.

referensi; 1,2,3,4,5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun