Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Benci "Layangan Putus", Karena Bikin Perempuan Menjerit Panik

24 Januari 2022   22:22 Diperbarui: 26 Januari 2022   00:09 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selingkuh Itu Sangat Kekinian

Sinema-sinema K-pop memberi efek paling dramatis, merubah paradigma orang banyak,  ketika menjadi kiblat baru budaya populer. Romantisme, kekerasan keluarga, romantika percintaan, bahkan konflik dalam versi Korea seperti menjadi acuan. Bagaimana sebuah visual sinema di sajikan, dan bagaimana sebuah budaya dinikmati, "nyaris" sebagai realitas, seperti drama the world of the married, salah satunya.

Penonton K-pop akan menangis (bahkan menyiapkan sekotak tisu sebelum menonton drama, walaupun hanya baru mendengar sinopsisnya). Selanjutnya akan "memburu" dan mem-bully tokoh yang dianggap antagonis atas tokoh protagonis yang diidolakan. 

Bahkan dunia bereaksi ketika sejarah "dibelokkan" oleh budaya populer sinema Korea, seperti sedang mengkritisi sejarah sebenarnya. Ini keajaiban, realitas sinema dunia kekinian. Persis seperti apa yang terjadi dan sedang kita rasakan ketika bicara tentang "layangan putus".

Dengan dunia yang semakin tak berbatas, visual juga mengalami distorsi. Orang hampir tak bisa membedakan antara fantasi dengan realitas. Karena isunya begitu, "kekinian sekali", mewakili realitas paling jamak dari kehidupan sosial saat ini.

Ketika gadget menjadi medium sangat personal, sangat individual, bahkan antara kita dengan pasangan, betapapun kita sangat menyayangi dan mencintainya. Seperti halnya Aris dan Kinan. 

Tapi peduli apa publik diluar sana, atau orang ketiga yang paling ditakuti  para "penonton" layangan putus yang begitu meng-obsesi, utamanya para perempuan. Sehingga menjadi sangat protektif dan menjadi posesif, dengan pasangan paska menonton "layangan putus".

Saya benci dengan realitas ini, tapi apa mau dikata. Bahkan, seperti kata seorang sahabat kompasianer, Isur Suryati;  baca disini, nongkrong di warung kopi diikuti, di konfirmasi dengan video call, melamun dicemburui, apalagi senyum-senyum sendiri, bicara lembut di gadget itu hal paling "tabu" dilakukan paska menonton "layangan putus".

Jadi, kisah "selebriti", dalam tanda petik, pemaknaan selebriti ternyata berbalik seperti bumerang,  juga berarti kita sendiri sebagai penonton para selebriti itu. Bayangkan jika dulu kita hanya dikenal pasangan, keluarga dekat atau jauh, para tetangga, atau paling jauh teman sekantor. 

Kini wajah kita ada di ruang media sosial, yang menjangkau antero Indonesia dan dunia. Maka kita sebenarnya juga selebriti tanpa kita sadari ketika memposisikannya di ruang media. Maka di instagram lahir selebgram, bisa jadi ia bukan siapa-siapa sebelumnya, bahkan tak melalui ruang audisi, apalagi seleksi di rung khusus yang pada jaman dahulu konon harus dibayar dengan "kehormatan", entahlah.

Lantas drama-drama selebriti yang dulu hanya kita "nikmati" di ruang entertainment, di media gosip, sekarang juga bisa menghinggapi kita, sang "selebriti dunia realitas", bukan drama dan bukan sinema!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun