Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Go Dutch" Butuh Adaptasi Agar Tak Gagap Budaya

17 Januari 2022   10:03 Diperbarui: 18 Januari 2022   23:51 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cara berpikir dan bertingkah laku tersebut merupakan hasil 'pengondisian budaya' cultural conditioning melalui proses panjang pendidikan dan pengajaran yang diberikan secara temurun oleh orang tua, guru, dan masyarakat sekitar kita baik secara langsung maupun tidak langsung.

Nah sering kali kita merasa yakin bahwa cara berpikir dan bertingkah laku serta sistem budaya yang kita anut adalah sistem yang baik, benar, dan normal.

Tapi ketika benturan masalah muncul saat kita melakukan kontak atau berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan budaya yang berbeda, karena orang-orang yang berasal dari lingkungan budaya yang berbeda itu memiliki pola, kebutuhan, dan pilihan yang didasarkan atas pengondisian budaya mereka sendiri, semuanya bisa bikin semua serba salah jadinya

Maka pemahaman terhadap budaya orang lain atau budaya suatu masyarakat sangat penting, terutama bagi orang-orang yang sebut saja bekerja dalam industri pariwisata dan hospitalitas, termasuk diantaranya para manajer, para pengambil keputusan, atau para petugas yang dalam pekerjaan sehari-harinya melakukan hubungan, interaksi atau kontak langsung dengan orang-orang yang berasal dari dan memiliki kebudayaan yang berbeda. Di Indonesia ada pepatah bilang, ; "dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung". Intinya ya pahami lingkungan baru dan beradaptasilah.

Jadi secara garis besar pemahaman lintas budaya tersebut antara lain mencakup pemahaman tentang nilai-nilai, kepercayaan, sikap, pola berpikir, adat istiadat, kebiasaan, bahasa, dan cara berkomunikasi.

Setidaknya memang butuh adaptasi, dan anehnya tradisi itu seringkali berpengaruh ketika kami sesama orang lokal, sedang makan bukan traktiran di kafe selepas kerja. 

Kami biasanya berbasa-basi dengan cukup bilang, it's going dutch time!. Beruntung karena teman juga punya pengalaman kerja dengan bule mereka mang-amini saja. Semua akan lebih mudah jika urusan kafenya ala Ka eF Ci tadi, coba saja di warung padang.

Dulu kalau ada teman yang mau mempraktikkan go dutch, dengan mendatangi kasir untuk bayar pesanannnya sendiri, kami  menggodanya dengan bilang, "eh nggak usah repot-repot dibayarin nanti biar kami bayar masing-masing".

Mengapa?, karena kebiasan kita jika mentraktir teman, kita tidak akan membayar di depan para tamu karena ini soal etika "ketimuran" itu. 

Jadi satu-satunya cara mengatasi gagap budaya dengan mempelajari seluk beluk budaya orang, bahkan jika budaya itu beda dengan kita kita harus ikut. Itulah maka ketika kita hendak main ke negeri orang, kita akan belajar adaptasiny terlebih dulu. 

Saya sempat heran ketika, mendengar, bahwa ternyata seorang bule ketika hendak "main" ke Asia, diajari bagaimana cara menggunakan WC jongkok dan cara "maaf' -ceboknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun