Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia, Surga Para Koruptor

17 September 2018   23:10 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:22 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh hanif sofyan-acehdigest

Biarlah di dunia para koruptor menikmati syurganya! kata seorang teman mengakhiri sebuah diskusi 'kedai kupi' setelah di penghujung debat tak membuatnya punya pilihan selain pasrah. Sehitam-hitam kopi ternyata kalah pahit dengan keputusan kontroversial MA meloloskan para koruptor ke gedung wakil rakyat yang terhormat.

Memang serba salah di negeri kita Indonesia. Ketika geliat anti korupsi begitu cetar membahana, paska keluarnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 tahun 2018, yang melarang para koruptor masuk ke gedung para wakil rakyat. Alasan keberadaan Undang-Undang Pemilu Nomor 17 tahun 2017 yang pangkatnya lebih tinggi membuat semuanya menjadi mentah. Segala jenis Pakta integritas, komitmen parpol menjadi basi di tangan Mahkamah Agung yang diamini oleh Badan Pengawas Pemilu, saudara KPU yang beda pandangan.

Beberapa partai mengamini dengan mengangkat tangan tinggi, tanda bersyukur, karena para kader koruptornya akhirnya bisa lolos. Sementara sebagian lainnya berkomitmen untuk berpegang teguh pada komitmen menjadi partai bersih.


Dalam 'Jalan Pedang Memerangi Korupsi', Teten Masduki menulis ' pengaruh gerakan antikorupsi memang masih belum terlalu kuat untuk menghentikan praktik korupsi. Kejahatan ini terus hidup dan tumbuh di tengah upaya untuk memeranginya. Korupsi di Indonesia memiliki kemampuan asimilasi yang luar biasa dari sistem otoriter ke sistem demokrasi tanpa hambatan'.

Kondisi itu kian menemukan kebenarannya dalam situasi dan kondisi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu institusi pemilik ranah kerja-kerja anti korupsi mengalami kriminalisasi berkelanjutan paska peristiwa Cicak versus Buaya dan menjadi jilid dua yang ending-nya menyebabkan hidup KPK menjadi amburadul.

Sejak KPK menunjukkan taringnya, ada anggapan bahwa siapapun yang berani mengganggu KPK akan langsung menghadapi perlawanan sengit dari masyarakat. Namun ketika institusi dan tataran elite yang memainkan peran sebagai 'musuh' KPK situasi menjadi seperti berbalik.  KPK menjadi institusi anti korupsi yang terbiarkan sendirian. Meskipun harus diakui dalam konfrontasi yang tidak seimbang tersebut ada porsi pembelajaran profesionalitas KPK juga.

Blunder ini tidak saja menimbulkan tumbuh kembalinya frustasi sosial yang telah berkepanjangan. Jika dulu persoalannya adalah ketiadaan lembaga anti korupsi yang 'tajam ke atas', maka persoalan bergeser pada lembaga anti korupsi yang 'dicabuti tajinya'. Kondisi diperparah dengan situasi termutakhir ketika KPK 'digoyang' revisi UU KPK yang kian 'meminggirkan' peran lembaga anti rasuah tersebut.

Maka reformasi perkorupsian yang mulai menunjukkan titik terang menjadi sedikit buram. Ada kebijakan tidak tegas dari Presiden dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul kepermukaan. Menyerahkan kepada mekanisme secara mengambang menyebabkan banyak pihak 'memanfaatkan' situasi tidak jelas ini untuk mengombang-ambingkan biduk KPK ke laut lepas yang tidak jelas pantainya, dan bahkan mungkin membiarkan KPK terdampar di pulau tanpa penghuni sendirian.

Bahkan dalam perkembangan mutakhir, di tengah kelangkaan kalangan elite pimpinan dari banyak strata dan kelompok; agama, birokrasi bahkan bisnis yang sepikiran dengan KPK, bahkan para elite memanfaatkan usia demokrasi yang relatif muda untuk mereproduksi cara-cara kotor dalam mendapatkan logistik politiknya. 

Politik usang dan politik 'gentong babi' model Orba menjadi mesin pembangun basis atau dukungan politik di tengah miskinnya gagasan perubahan yang ditawarkan. Sehingga hampir mustahil akan datangnya perubahan yang diharapkan. (Teten Masduki;  92).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun