Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Jarak jauh Diaspora Aceh

11 September 2018   16:05 Diperbarui: 30 Januari 2021   00:08 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.rumanaceh.com

[Suatu Gambaran Tentang Konflik Separatis di Indonesia]

Bukan cuma cinta biasa yang mengenal long distance relationship, bahkan kerinduan akan sebuah nanggroe-menyebut aceh dalam nuansa 'meuaceh', muncul dalam format politik yang kompleks.

Kisah Aceh memang sangat panjang berliku, sejak perang tanpa henti melawan agresi Belanda yang berdurasi: 31 tahun (1873-1904), lalu konflik beralih rupa dengan pemerintahan pusat sendiri, lalu diam-diam dalam nanggroe sendiri juga bertumpang tindih silang pendapat soal siapa yang mesti muncul sebagai 'pemilik' nanggroe sesungguhnya. maka perang merujuk eksistensi parapihak itu berlanjut dan menjadi bahagian dari kesejarahan.

Berikutnya yang tak kalah penting adalah munculnya Gerakan Aceh merdeka (GAM), sebagai bentuk perlawanan melawan, apa yang disebut oleh para kombatan sebagai 'melawan penindasan'. begitupun banyak penafsir sejarah berbeda pendapat, berbagai motif melatarbelakangi gagasan munculnya gerakan, yang dianggap Pemerintah Negara kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah gerakan separatis.

Terlepas dari debat itu, bahwa konflik inilan yang paling menyita jiwa raga ureung Aceh, karena begitu panjangnya kisah perjuangan yang nyaris tanpa jeda, keculai ketika tsunami raya, berlakunya invicible hans Allah Azzawajala, maka perang berjeda. namun tetap saja benih-benih itu tetap tinggal dalam sekam sebagai bara. angin sekecil apapun dapat menyulut kembali peperangan, mungkin gesekan.

Gagasan tentang 'kemandirian' berbangsa itu tetap saja menjadi bargaining power, sisi penawar dalam setiap gelagat konflik politik atas-bawah, kiri kanan, vertikal-horizontal.

Maka segala ruang menjadi medium menyuarakan suara 'perjuangan' tentang keadilan yang ternyata belum mau berhenti. dan Diaspora Aceh adalah wujud, 'perlawanan' mencari keadilan yang digerakkan oleh 'mesin' tidak kasat mata dan ada dimana saja.

Maka kecintaan itu tidak bisa dibendung waktu dan jarak, selama denyut nadi ada, maka wujud kecintaan akan nanggroe akan mewujud dalam bentuk apapun. Soft power, dialog meja runding, adalah pilihan-pilihan, dari begitu banyak pilihan yang pernah ada dan membuang begitu banyak energi 

 dan nyawa.

Mungkin ada waktunya kecintaan akan nanggroe berubah arah jarum jam, mengumpulkan seluruh energi, dan tinggalah keinginan paling hakiki, membangun naggroe untuk sebuah eksistensi, tanpa syarat, tanpa membuang harga diri, namun di puncak semuanya, perdamaian naggroe adalah yang paling hakiki di atas semua ingin, harapan dan doa-doa yang tak pernah henti dipujakan. [hansacehdigest].

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun