Mohon tunggu...
Wuryanano Raden Mas Panji
Wuryanano Raden Mas Panji Mohon Tunggu... wiraswasta -

Entrepreneur, Author, Public Speaker

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melepas Topeng Kehidupan

3 September 2013   02:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:27 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Istilah TOPENG sudah pasti Anda tahu bukan? Bahkan kalau Anda senang melihat film-film bertema kepahlawanan “super hero”, pasti seringkali digambarkan sang super hero tersebut selalu memakai topeng pada saat beraksi membela kebenaran. Anda bisa saksikan itu di film-film seperti Zorro, Spiderman, Batman, Dare Devil dll. Bahkan Superman, meskipun dia tidak memakai topeng, tapi tetap saja dia melakukan “penyamaran” atas jati dirinya yang sebenarnya; sehingga dengan demikian tidak ada seorangpun tahu siapa sebenarnya mereka.

Secara simbolis psikologis, hal seperti itu juga terjadi dalam kehidupan kita ini, sebab kebanyakan orang memakai “topeng” hampir setiap hari di dalam kehidupan mereka. Anda seringkali tidak bisa melihat mereka sebenarnya, tapi sesungguhnya mereka ada. TOPENG tersebut mempunyai fungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang terpendam, untuk menyembunyikan diri sejatinya, yang dirasa tidak bisa diterima dari dunia yang penuh dengan pergolakan dan ancaman ini.

Banyak orang dalam kehidupannya selalu “menyamar” bahkan sampai di hari kematiannya; mereka selalu memakai “topeng” yang mereka rasa bisa menyembunyikan diri mereka sebenarnya, dari celaan dan hinaan orang lain. Sebagian orang hidup sampai dengan usia lanjut, tanpa ada seorangpun yang benar-benar mengetahui seperti apa sebenarnya jati diri mereka ini; karena topeng selalu menyembunyikan mereka dari kehidupan yang tidak pernah sempurna ini.

Anda pasti seringkali mendengar ucapan orang lain seperti ini, “Jangan begitu, nanti kita nggak enak dengan dia lho. Dia kan yang dituakan di kampung ini”. Atau seperti begini, “Nanti saat kita ketemu dia, kita harus bergaya sesuai dengan keinginan dia ya. Soalnya dia orang golongan kelas atas, kalau kita nggak bisa seperti dia, kita nggak bakalan diterima di dalam lingkungannya”. Atau yang ini, “Nanti kalau ketemu dia, kamu harus bersikap low profile ya. Soalnya dia orangnya gila hormat, jika tidak; kamu nanti nggak bakal dianggap olehnya”.

Dan masih banyak lagi pendapat dan komentar orang lain, yang secara garis besar mempunyai maksud, bahwa kita sebaiknya mengikuti atau menuruti pendapat dan komentar orang lain itu, dalam setiap langkah kita.

Saya tidak bermaksud mengatakan kepada Anda, bahwa Anda jangan mengikuti pendapat dan saran orang lain; bukan begitu. Kita atau Anda boleh saja dan sah-sah saja mengikuti saran-saran orang lain, tetapi saran orang lain itu tetap harus Anda sesuaikan dengan diri Anda. Dalam mengikuti saran dan pendapat orang ini, janganlah Anda terima dan telan mentah-mentah saja. Anda sebaiknya merenungkan dan menelaah manfaatnya bagi diri Anda sendiri terlebih dulu; mencocokkan mana yang memang pas dan cocok untuk Anda ikuti. Baru kemudian setelah Anda merasakan ada manfaat kegunaannya bagi pengembangan diri Anda, maka saran itu boleh Anda gunakan dan Anda terapkan dalam kehidupan Anda sehari-hari.


Yang jadi persoalan sekarang ini adalah: di dalam menjalani kehidupan ini, acapkali kita bertindak dan bersikap yang tidak seperti diri sendiri. Kita sering bersikap bukan sebagai diri sendiri, berbicara tidak sebagai diri kita yang sebenarnya. Seringkali kita bertindak atas dasar keinginan orang lain, atas dasar senyuman atau cibiran orang lain; dan ini sudah menjadi suatu kebiasaan umum di masyarakat, bahwa jika kita melakukan segala sesuatu tindakan hendaknya melihat lebih dulu ke “persetujuan” orang lain.

Seakan-akan sudah menjadi hal yang wajar, kalau kita bersikap di dalam pergaulan masyarakat harus memakai “topeng” agar bisa diterima oleh lingkungan kita. Jika kita memaksakan diri menjadi diri sendiri, acapkali membuat kita sulit membaur ke dalam lingkungan tempat kita berada.

TOPENG sudah dianggap sebagai sesuatu benda yang wajib kita kenakan, jika kita ingin mendapatkan persetujuan dari lingkungan masyarakat kita. Banyak orang hidup dengan memakai “topeng” untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

Berpura-pura memang boleh saja menurut saya, tetapi itu hanya bersifat temporary, dan tidak menetap pada diri kita. Sifat kepura-puraan itu hanya sementara dan tidak akan menjadi satu bagian kepribadian kita; pada suatu saat saja, dimana kondisi kita memang mengharuskan untuk bersikap pura-pura, seperti contoh berikut ini; Anda suatu saat ada janji untuk bertemu dengan seseorang di suatu tempat. Sebelumnya orang itu sudah membuat janji lewat telepon untuk bertemu dengan Anda, dan Anda memang belum pernah bertemu sama sekali dengannya. Dari nada suara di telepon, Anda serasa berbicara dengan seorang yang sangat cantik, anggun, tinggi semampai dan elegant. Untuk itulah Anda bersedia untuk bertemu dengan dia di suatu tempat.

Singkat kata, bertemulah Anda dengan orang tersebut. Pada saat ketemu dengan dia itulah, terdapat ketidak cocokan persepsi diri orang itu; sosok orang itu tidak seperti yang Anda bayangkan semula, pada saat menerima telepon darinya. Sosoknya benar-benar berbeda sama sekali dengan bayangan Anda. Kemudian apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda dengan spontan berkata, “Wah – saya pikir Anda orangnya cantik, anggun dan tinggi semampai. Ternyata Anda orangnya jelek, pendek dan gemuk”. Bagaimana sikap Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun