Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Banjir Sudah dari Dulu, Mitigasi Mestinya Belajar dari Pengalaman Masa Lalu

4 Oktober 2020   20:49 Diperbarui: 5 April 2021   06:57 2472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macet Karena Banjir -- Jalan-jalan di Kawasan Grogol dan Pluit di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, macet total pada Rabu siang, 16 Januari 1985, karena tergenang air yang merendam beberapa bagian Ibukota sejak Selasa akibat hujan yang mengguyur Jakarta. (KOMPAS/JB SURATNO)

Berbagai kasus illegal logging, merusak daya dukung lingkungan untuk penyerapan air. Akibatnya, di hulu sungai, air meluap tak terkendali. Daya tampung sempadan sungai tak memadai. 

Air meluap dan menerjang dengan deras, lingkungan sekitar dan juga pemukiman. Banjir melanda kampung. Kebun-kebun dan ladang, tersapu banjir. Demikian juga rumah-rumah, diterjang banjir, hingga membedol pondasi rumah, terbawa arus hingga ke pantai. Kondisi ini pernah terjadi sekitar agustus tahun 2012 lalu di wilayah Maluku, tepatnya di Seram Bagian Barat. 

Mungkin juga daerah-daerah lainnya pernah mengalami kondisi seperti ini. Baru-baru ini di Masamba, juga Gorontalo, diterjang banjir. Menyisakan lumpur di jalanan dan dinding-dinding rumah.

Kayu-kayu besar dari hutan, yang terbawa arus sungai teronggok di jalanan desa. Daerah pedesaan, yang diperkirakan orang, masih asri dan lingkungan terjagapun tak luput dari amukan banjir. Semuanya itu karena salah kelola lingkungan. 

Apalagi di daerah perkotaan, yang sudah tidak ada lagi penyerapan air tanah, akibat bangunan-bangunan pencakar langit menyesaki ruang di perkotaan. Di desa, banjir lebih diakibatkan meluapkan air di hulu sungai, akibat pembabatan hutan secara liar.

Di kota banjir, karena terjangan hujan yang tidak terserap ke dalam tanah, akibatnya mengumpul di bantaran-bantaran sungai, bahkan kanal-kanal buatan, yang seakan tak kuasa menahan debit air pada saat intensitas hujan sangat tinggi. 

Jakarta, misalnya gedung-gedung beton pencakar langit dianggap sebagai biang kerok. Resapan air tanah, sangat terbatas, terhalang oleh beton-beton dan aspal. 

Drainase mampet, karena ulah orang-orang kota yang jorok, sembarangan membuang sampah. Juga, mampet karena aliran air tidak lancar, karena di kiri kanan got banyak pondasi bangunan. Kota jakarta, bahkan diramakan tenggelam, karena naiknya permukaan air laut, juga susahnya air hujan dalam debit yang besar meresap ke dalam tanah. 

Padahal, bicara banjir Jakarta, sudah dari dulu terjadi. Sejak awal abad 19, atau tahun 1800an, konon Jakarta sudah mengalami banjir. Kaum cerdik pandai, cendekia, sudah banyak yang menganalisis juga memberi solusi. Bahkan kanal-kanal buatan sudah dibangun.

Namun, Jakarta tetap banjir. Bahkan siklus banjir 5 tahunan, seperti kabar yang mengerikan. Juga kisah yang memilukan.

Ibukota banjir, bukan hanya di pinggiran, bahkan sampai ke istana, pusat pemerintahan. Hmmm...bicara banjir Jakarta, tak ada habisnya, semua seperti sudah terlambat. Tinggal pasrah kepada alam saja. Semoga alam semakin bersahabat saja dari waktu ke waktu. Sambil berbenah sebisanya, semampu mungkin. Hanya itu sepertinya yang bisa dikerjakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun