Mohon tunggu...
wurianto saksomo
wurianto saksomo Mohon Tunggu... -

Lahir dan menghabiskan masa kecil serta remaja di Madiun, menimba ilmu di Jogja, sekarang menjemput takdirnya di Ngawi, berkarya untuk negeri sebagai bagian dari birokrasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mahasiswa Dan Rekayasa Sosial

15 Desember 2011   00:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:16 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum kita melangkah untuk membahas rekayasa sosial maka biasanya orang harus mengetahui dulu apa itu problem sosial, karena adanya rekayasa sosial itu didahului timbulnya problem-problem (masalah) sosial. Problem adalah sebuah kondisi di mana terjadi perbedaan antara apa yang kita inginkan (das Sollen) dan apa yang telah terwujud menjadi suatu kenyataan (das Sein). Kita menginginkan cepat lulus kuliah namun kenyataannya skripsi tidak kelar-kelar, atau kita ingin segera mengakhiri masa lajang, namun apa daya ternyata proposal ditolak terus. Akibatnya terjadi perbenturan antara idealita dan realita.

Problem itu sendiri sebenarnya dibagi menjadi 2 dimensi yakni bertaraf individu dan bertaraf sosial. Problem individu adalah masalah yang timbul dari individual qualities (kualitas-kualitas individu) atau dari lingkungan terdekat. Misalnya seseorang pemuda yang ditolak lamarannya oleh orang tua sang gadis yang telah diincarnya karena dianggap masih menganggur. Si pemuda masih menganggur disebabkan memang malas mencari duit, jadi ini adalah masalah personal dari yang bersangkutan. Atau seseorang yang ditolak untuk menjadi penyanyi oleh produser rekaman karena suaranya memang hanya merdu kala di kamar mandi saja.

Sebaliknya masalah sosial bermula dari faktor dan lingkungan sosial. Philip Kotler menyebutkan bahwa problem sosial adalah kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap tidak enak atau menganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dapat dikurangi atau dihilangkan melalui upaya bersama (kolektif). Ada 3 problem sosial yang bisa kita kemukakan di sini yang mana ketiga problem sosial tersebut menjadi sumber perubahan sosial, yakni kemisikinan, kejahatan, dan konflik.

PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan sosial adalah terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi kelompok, lembaga, atau tatanan sosial yang penting. Ada istilah lain yang diberikan oleh para ilmuwan tentang perubahan sosial, yang substansinya sama atau hampir sama. Less dan Presley menyebutnya social engineering, MN Ross mengatakannya social planning (perencanaan sosial), dan Ira Kaufman mengistilahkannya dengan change management (manajemen perubahan). Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menggunakan istilah rekayasa sosial dan ini yang kita bahas.

Menurut sosiolog terkenal, Max Weber, penyebab utama perubahan adalah ideas atau pandangan. Tesis utama dari Weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar idelogi sebagai variabel independen bagi perkembangan masyarakat. Penyebab kedua adalah tokoh-tokoh besar. Menurut Thomas Carlyle sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar. Perubahan sosial terjadi karena munculnya tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia, dan kemudian mereka bersama-sama melakukan perubahan di dalam masyarakatnya. Perubahan sosial yang ketiga terjadi karena adanya gerakan sosial (social movement) seperti yang dilakukan LSM.

AKSI SOSIAL
Setelah mengetahui problem sosial yang terjadi dan upaya untuk melakukan rekayasa sosial, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah aksi sosial. Aksi sosial diartikan sebagai tindakan kolektif untuk mengurangi atau menghilangkan masalah sosial. Aksi sosial mengandung lima unsur (5C), yakni cause, change agency, change target, channel, dan change strategy. Cause atau sebab, ini berkaitan dengan misi, motif, atau tujuan. Setiap problem sosial membutuhkan sejumlah pemecahan atau solusi yang beragam. Ada 3 sebab atau alasan untuk turun dalam dataran aksi yakni membantu (helping), memprotes (reform), dan menghancurkan (destroy/revolusi).

Saat ini revolusi menjadi wacana yang sedang naik daun di kalangan gerakan mahasiswa. Revolusi adalah motor penggerak sejarah, demikian pendapat Karl Marx. Secara definitif ia diartikan sebagai perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara, dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah.

Rekayasa sosial di mana pun tempatnya dan kapan pun masanya selalu membutuhkan aktor-aktor untuk melakukan gerakan. Ada 2 kelompok besar di balik upaya rekayasa sosial yakni pemimpin-pemimpin (leaders) dan pendukung (supporters). Kalau dijabarkan lebih lanjut akan kita temukan derivasinya yang mana tiap-tiap orang mempunyai peran yang tertentu. Ada orang yang menggerakkan, ada yang terus-menerus memberikan motivasi agar massa tetap bergerak, ada yang membantu dengan sumber daya, dana dan fasilitas, ada yang memperngaruhi kalangan elit, ada yang mengatur administrasi sebuah gerakan, ada yang harus menjadi konsultan, ada juga tipe pekerja atau aktivis, ada pendonor, dan yang tak kalah pentingnya adalah para simpatisan.

Sasaran perubahan menurut Jalaludin Rakmat dalam bukunya Rekayasa Sosial ada 2 yaitu pertama sasaran akhir, berupa korban atau lembaga-lembaga yang dirusak. Kedua adalah sasaran antara seperti masyarakat/pemerintah, bisnis, atau profesi.

Unsur selanjutnya dari aksi sosial adalah chanel atau saluran yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Dalam klasifikasi Kotler, media ini dibagi menjadi dua, media pengaruh dan media respon. Keduanya dapat menggunakan media massa atau media interpersonal.

Terakhir adalah change strategy (strategi perubahan), yaitu teknik utama mempengaruhi, yang diterapkan oleh para pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasarn perubahan. Ada tiga alternatif strategi : memaksa (power strategy), membujuk (persuasi), dan mendidik (edukasi).

GERAKAN MAHASISWA
Tampaknya berbicara mengenai rekayasa atau perubahan sosial menjadi tidak adil jika tidak membicarakan (ngrasani) mahasiswa. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa gerakan mahasiswa menjadi kekuatan dahsyat untuk merubah kondisi di negeri ini sejak dulu. Jaman pergerakan kemerdekaan (masa 1908, 1928, dan 1945), penjungkalan Orde Lama, Peristiwa Malari, aksi-aksi protes terhadap kebijakan NKK/BKK, tumbangnya Eyang Soeharto, dan sebagainya cukup menjadi bukti. Mahasiswa sejak dulu, kini, dan sampai kapan pun selalu berpeluang untuk berada pada posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat sehingga pantaslah jika ia mendapatkan sandang sebagai kelompok pembaharu. Orang sering mengatakannya dengan gerakan moral yang tidak berambisi menduduki jabatan kenegaraan tertentu atau tanpa pamrih.

Menurut Arbi Sanit ada 2 peran pokok yang selalu tampil mewarnai setiap aktivitas gerakan mahasiswa. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang terjadi sehingga ia senantiasa melahirkan berbagai alternatif pemecahan.

Namun demikian perjalanan gerakan mahasiswa tidak berjalan mulus begitu saja, karena pihak penguasa selalu khawatir akan protes-protes perlawanan mahasiswa terhadap kebijakannya yang tidak pro rakyat. Karena itulah pihak penguasa melakukan intervensi ke dalam kampus. Penguasa menyadari bahwa kampus sebagai pembaharu masyarakat, sebagai sumber daya politik, dan mempunyai watak kemandirian yang menumbuhkan sikap kritis. Akibat intervensi dari negara tersebut (terutama dengan dikeluarkannya NKK/BKK, yang walau sudah dicabut namun dampaknya masih terasa) menimbulkan 3 hal. Pertama, terasa kuatnya tekanan terhadap pertumbuhan daya kreativitas warga kampus. Kedua, intervensi birokrasi departemen yang mendalam telah menjadikan para pimpinan unit universitas menjadi semacam “Raja Kecil”. Ketiga, tumbuhnya gejala apatisme sebagai kelanjutan perpaduan kedua hal di atas.

Menghadap kenyataan seperi itu ada 2 pilihan yang harus dilakukan oleh para mahasiswa sebagai bagian dari warga kampus. Mahasiswa akan mengundurkan diri ke “dunia dalam” yang bersifat pribadi dan cenderung pragmatis tanpa mau memperhatikan keadaan yang terjadi di sekitarnya ataukah mahasiswa justru keluar dari “dunia dalam” dan memberontak melawan ketidakadilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun