Mohon tunggu...
WongCilik123
WongCilik123 Mohon Tunggu... Freelancer - simple life, simple thoughts

simple life, simple thoughts

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Malaikat Bernama Rapid Test Covid-19 Mandiri

23 Maret 2020   18:21 Diperbarui: 24 Maret 2020   10:08 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : liputan6.com

Di tengah pandemi Covid-19, hampir semua negara kebingungan langkah apa yang harus diambil untuk menanggulanginya, jangankan kita di Indonesia, USA-pun kebingungan dan banyak membuat kesalahan, Trump yang menyepelekan di awal dan mengatakan Covid-19 adalah hoax, alat test yang hasilnya tidak akurat, dll yang menjadi ironi karena mereka adalah negara adidaya.

Ada 2 pandangan mayoritas yang saat ini beredar, yaitu lockdown total seperti Italy, atau rapid test (test cepat massal) + social distancing seperti Korea Selatan.

Keduanya ada untung ruginya, dan bahkan ada yang menyarankan keduanya harus dilakukan bersamaan, karena itulah yang dilakukan di China, mereka melakukan keduanya, bahkan dalam jangkauan yang ekstrem karena hampir seluruh negeri (bayangkan 1 milyar orang lebih) dilock down selama 1 bulan. 

Wuhan sendiri hampir 2 bulan di lockdown + test cepat massal + rs darurat dan bangunan2 dialihguna jadi rumah sakit (peningkatan kapasitas tempat tidur secara ekstrem) + 10% tenaga medis dari daerah lain semua dikirim ke Wuhan.

Harus kita akui, tidak ada negara lain yang memiliki sumber daya sebanyak China, dalam hal tenaga medis maupun segala sesuatu yang lain. Dan juga tidak ada  negara lain yang menganut totaliter/komunis dimana lockdown yang dilakukan adalah paksaan, bukan himbauan lagi. 

Bahkan banyak yang berkata kalo kita melanggar, bisa-bisa didor/ditembak mati di tempat. Dan hal ini jelas tidak bisa dilaksanakan di tempat lain. Bahkan Italy saja hanya partial/lockdown sebagian, setelah menyerah karena masih banyak yang keluyuran dan tidak ada perbaikan, baru 1-2 hari ini memberlakukan total lockdown.

Semua negara dalam dilema, apalagi perburukan ekonomi global sudah terjadi sejak tahun-tahun kemarin. Dengan ditambahnya masalah corona ini, apapun jalan yang diambil seperti buah simalakama.

Di lockdown, ekonomi terhenti dimana efeknya belum ada yang dapat memperkirakan, pemerintah harus menyiapkan bahan pokok yang cukup supaya tidak ada kelaparan dan kekacauan.

Tidak di lockdown, sangat sulit untuk menekan angka penularan, karena banyak rakyat yang tidak patuh dan banyak perusahaan yang belum siap dengan skema kerja di rumah, dimana akhirnya rakyat tetap harus berjubel naik transportasi umum.

Bila angka penularan tidak bisa ditekan, maka Rumah Sakit akan kewalahan dan tingkat kematian tinggi. Dan jangan lupa, social distancing tetap berefek ke ekonomi, sektor informal seperti ojol, rumah makan, tempat perbelanjaan, PKL dll juga tetap terimbas meski tanpa total lockdown.

Indonesia akhirnya memilih cara Korea Selatan, yaitu social distancing dan test cepat/rapid test. Masalahnya disini ada 3:

- seberapa paham dan patuh masyarakat indonesia akan social distancing? karena budaya kita beda dengan Korea Selatan yang orang-orangnya lebih lebih berpendidikan dan disiplin

- seberapa massal test dilakukan?

- seberapa siap rumah sakit, tenaga medis, persediaan perlengkapan keamanan dan obat 

Bila 3 poin diatas dilaksanakan setengah-setengah, dijamin hasil akhirnya akan gagal total. 

Masyarakat tetap memaksa berkumpul, apalagi dengan alasan ibadah dan kerja. Test hanya dilakukan pada orang-orang tertentu ODP dan PDP (orang yang bertemu dengan pasien positif sebelumnya). 

Rumah sakit dan tenaga medis mengalami kekacauan karena harus kita ingat, di hari biasa saja kapasitas rumah sakit seringkali sudah penuh dan pasien harus antri untuk mendapatkan kamar.

Jadi apa yang harus dilakukan?

Penulis melihat DIAGNOSA DINI adalah solusinya, setidaknya untuk saat ini, bagaimana caranya? Dengan test cepat secara MASSAL dan KOMERSIAL.

Massal dan komersial dalam artian alat test dan obat tersebut harus tersedia di mana saja, di apotek, di puskesmas, di klinik dokter, dst dengan harga terjangkau alias komersial diperjual belikan, jadi tidak perlu indikasi/rujukan yang njelimet dimana menghambat diagnosa dini.

Sistem BPJS yang gratis biarlah tetap berjalan, tetapi beri pilihan masyarakat untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab atas kesehatan sendiri.

Menurut Fadli Zon, harga alat test tersebut hanya sekitar 55ribu rupiah, dimana harga tersebut sangat terjangkau bagi kebanyakan orang di Indonesia. 

Untuk obat, penulis belum mendapatkan data mengenai harganya, seandainya mahal, maka dengan hasil test mandiri yang positif, pasien bisa mengklaim obat gratis di puskesmas terdekat.

Kenapa komersial menjadi kata kunci? Karena pemerintah harus menyadari dan mengakui bahwa kapasitas mereka terbatas. Dengan komersial, maka semua orang yang bergejala, bisa membeli alat testnya secara mandiri dan mengetahui status mereka masing-masing = diagnosa dini.

Bila diagnosa dini terjadi, maka terjadi pengobatan dini dimana keberhasilan pasti jauh lebih tinggi dan menekan jumlah orang yang harus masuk rumah sakit karena terlambat diagnosa = mengurangi keperluan tenaga medis dan tempat tidur Rumah Sakit.

Perbandingan tempat tidur dan jumlah penduduk di Indonesia hanya 1:1000 atau 1 tempat tidur di Rumah Sakit per 1000 penduduk, jauh dari Korea Selatan yang 12x lipat. 

Itu kita belum mempertimbangkan faktor bahwa kebanyakan Rumah Sakit dan tenaga medis ngumpul di kota besar dan tidak merata sebarannya, dan belum mempertimbangkan bahwa di hari biasa saja sudah penuh dan antri-antri.

Jadi sudah tidak masuk akal bila kita ingin membentuk Herd Immunity (penularan dibiarkan terjadi), dimana dibutuhkan sumber daya Rumah Sakit yang extravaganza untuk melakukan hal itu (hal ini akan dibahas di artikel penulis berikutnya).

Jadi satu-satunya solusi saat ini adalah DIAGNOSA dan PENGOBATAN DINI secara MANDIRI. Pengobatan dini menekan angka orang yang harus masuk rumah sakit dan juga menekan penularan karena setidaknya 80% yang positif pasti mengisolasi dirinya, meski ada 20% yang tetap bandel keluyuran, tetap lebih lumayan daripada yang positif keluyuran 100%.

Langkah tambahan lain yang bisa dilakukan ada beberapa, misalnya melibatkan RT RW untuk memberikan bantuan ekonomi pada orang yang tidak mampu tetapi terdiagnosa positif, pengawasan isolasi mandiri untuk keluarga tersebut hingga sembuh.

Social distancing tetap diterapkan untuk menutup celah pelaksanaan test cepat karena apapun kebijakan yang ada, pasti ada celah dalam pelaksanaan. Semua tempat umum termasuk tempat ibadah ditutup, perkumpulan orang lebih dari 5 misalnya dibubarkan dan didenda, masyarakat dihimbau untuk naik motor ke tempat kerja, dst.

Alih guna dan penambahan tempat tidur + relawan secara massal tetap dilakukan maksimal.

Pemanfaatan teknologi juga membuat perbedaan di China dan Korea Selatan, mereka memanfaatkan Nomor Handphone dan Aplikasi untuk melacak pergerakan orang-orang yang positif, ODP dan PDP, untuk memastikan apakah mereka benar mengisolasi diri/tidak, memberitahukan zona-zona terdampak untuk dihindari, bahkan lebih jauh lagi China menggunakan Big Data untuk memberikan status warna pada setiap orang apakah dia bersih dan layak untuk naik transportasi umum dan bekerja (keluyuran).

Mengapa sampai seserius begitu? Karena vaksin butuh minimal 1 tahun dan obat yang keberhasilannya tinggi belum ditemukan, dan karena mereka sadar bahwa mereka harus segera kembali bekerja supaya ekonomi tidak makin jatuh dan muncul persoalan besar lainnya.

Bagaimana dengan lockdown? Tergantung apakah pemerintah mampu mengerahkan tentara, menghidupkan peran RT RW untuk mewajibkan social distancing, bila mampu maka tidak perlu lockdown total. 

Tetapi lockdown partial tetap perlu, yaitu penutupan jalur transportasi international dan domestik, sesuai dengan teori social distancing, maka penerbangan, bis, kereta adalah kerumunan yang harus dihentikan, bahkan untuk daerah zona merah, perlu ditutup pergerakan orang keluar dari zona merah.

Ekonomi perlu dipikirkan, tetapi bila Covid-19 ini berlarut2 atau bahkan bertambah parah, maka kita sama seperti katak yang direbus di air yang perlahan makin panas, tidak terasa tetapi hasil akhirnya justru lebih dahsyat efeknya ke ekonomi.

Intinya, semua kebijakan penanganan akan menjadi jauh lebih mudah bila lebih jelas mana yang positif dan negatif, meskipun test cepat ada jeda waktu untuk hasil yang akurat, tetapi tetap saja lebih baik daripada tidak tahu positif/negatif sama sekali.

Kehidupan manusia jelas berubah dengan adanya Covid-19, siapa yang menang tergantung siapa yang lebih cepat menyesuaikan, apakah kita atau Covid-19 yang lebih cepat.

WongCilik123

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun