Mohon tunggu...
Agus Wahyu Hartanto
Agus Wahyu Hartanto Mohon Tunggu... -

lahir 22 tahun yang lalu saat membuat akun ini. sederhana, elegan, keren, menyukai mawar, dan yha.... suka menulis. ngeblog juga di http://warlockgunkid.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Kereta Api Indonesia

7 Februari 2011   02:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:50 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya, dengan terpaksa, melakukan perjalanan dengan jasa Kereta Api di siang hari. Saya saat itu memakai Kereta Api kelas bisnis. Berikut ini saya akan menceritakan pengalaman saya tentang perjalanan, apa yang ada di pikiran saya selama di perjalanan, dan apa yang ingin saya katakan kepada semua orang tentang kondisi perkeretaapian kita.

Saya mendapat jatah gerbong nomor satu. Itu berarti gerbong paling ujung belakang jika KA berjalan menuju Jakarta. Saya sempat terpikir kata-kata bulek (tante dalam bahasa jawa),"Kalau naik Kereta Api Bisnis, jangan ambil gerbong ujung. Disitu bakal jadi terminal penjual asongan."

Saya sempat berbaik sangka dengan kondisi kereta yang pada awalnya memang tenteram, walaupun kata-kata bulek terus terngiang-ngiang di kepala. Karena, 2 jam pertama perjalanan memang tenteram, tenang, dan teratur. Hingga tibalah Jam ketiga perjalanan.

Saat itu, para penjual mulai mempertontonkan kebolehannya. Menawarkan barang dagangannya dengan suara lantang, nyaring, merdu, dengan segala nada dan iramanya. "It doesnt matter", kata hati saya. Karena saat itu para pedagang memang hanya lewat, muter dan balik lagi ke gerbong depan untuk menjaja barang dagangannya. Dan saat itu memang sedang ada di stasiun. Saya berharap saat Kereta Api berjalan, maka sang penjual turun dan suasana kembali nyaman.

Kereta pun berjalan. Namun ternyata sang penjual masih saja menjajakan barang dagangannya. Hilir mudik tak karuan. Dan setiap kereta berhenti di stasiun, setiap itu pula bertambah pedagang yang naik. Entah karena prosedur perkereta-apian memperbolehkan fenomena ini atau petugasnya yang acuh tak acuh dengan kejadian seperti ini atau memang ini adalah kejadian yang sangat biasa terjadi dan diterima umum apa adanya.

Bukan bermaksud menjustifikasi, tapi apa iya boleh dan diperbolehkan, jika gerbong yang sejatinya untuk penumpang malah dijadikan terminal bagi para pedagang asongan. Mari kita bayangkan bersama, lorong kosong antara tempat duduk kanan dan kiri, sepanjang lorong kosong di gerbong dijadikan tempat istirahat para pedagang. Tidak hanya sebentar, tapi mencapai separuh waktu perjalanan! Dan tidak cuma satu-dua pedagang, banyak sekali. Sepanjang lorong, benar-benar sepanjang lorong penuh!

Saya pernah mengalami hal yang mirip saat saya menumpang kereta ekonomi. Bedanya, di kereta ekonomi ini yang memadati gerbong adalah penumpang. Namun, di kereta bisnis kali ini yang memadati adalah pedagang. "Saya membayar untuk layanan bisnis man! Bukan layanan ekonomi!"

Saya sebenarnya cukup gerah juga dengan keberadaan penumpang gelap. Tak ada tiket, dan mengatur penumpang bertiket dengan sekehendak hatinya.

"Mas, kursinya dibalik aja ya... biar saya bisa tidur!", Kata seorang penumpang saat saya menumpang kereta bisnis.

Kira-kira apa cocok, apa layak, kata-kata seperti itu muncul dari seorang penumpang gelap tak bertiket? Memang kita diajarkan toleransi. dan saya pun memberikan toleransi dengan membiarkannya dan memberikan ruang kepadanya walaupun dengan tidak mengabulkan keinginannya. Tapi kata-katanya itu lho... hmm... bikin nggak nahan.

Etika yang berjalan di kepala saya bilang begini,"Jika saya yang ada di posisi penumpang gelap, maka cukup bagi saya bisa menumpang dan selamat sampai tujuan tanpa terusir dan tanpa membuat orang lain merasa terganggu. Itu sudah cukup buat saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun