Banten, sebagai salah satu Provinsi di ujung barat Pulau Jawa, memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam dan sarat makna. Di antara berbagai tradisi yang berkembang, seni Debus, Rampak Bedug , Saman dan Tari Ringkang Jawari menonjol sebagai warisan budaya yang unik dan penuh nilai filosofis. Ketiga elemen ini seperti Debus, Almadad dan Tari Ringkang Jawari  tidak hanya menjadi hiburan tradisional, tetapi juga sarana ekspresi spiritual, identitas sosial, dan simbol keberanian yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Banten. Keberadaan seni ini mencerminkan betapa dalamnya akar budaya dan sejarah yang membentuk karakter masyarakat Banten hingga saat ini.
Fakta pertama yang menjadi daya tarik utama adalah keberadaan Almadad dalam pertunjukan Debus. Almadad, yang secara harfiah berarti paku besar, merupakan alat utama yang digunakan dalam atraksi ketahanan tubuh yang sangat menantang dalam permainan Debus dan  Debus sendiri merupakan seni bela diri tradisional yang memiliki akar sejarah kuat sejak masuknya Islam di Banten pada abad ke-16. Dalam pertunjukan Debus, para pesilat menunjukkan kemampuan luar biasa dengan menahan tusukan paku, pedang, atau benda tajam lainnya tanpa mengalami luka. Hal ini bukan hanya menampilkan keahlian fisik, tetapi juga kekuatan mental dan spiritual yang diperoleh melalui latihan disiplin dan ritual keagamaan yang mendalam.
Fakta kedua berkaitan dengan makna spiritual Debus yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keislaman yang berkembang di Banten. Debus bukan sekadar pertunjukan seni atau hiburan, melainkan juga media dakwah yang digunakan oleh para ulama dan tokoh masyarakat untuk menyebarkan ajaran Islam. Melalui pertunjukan Debus, masyarakat diajak untuk meneladani sikap sabar, tawakal, dan keteguhan iman dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Almadad sebagai simbol kekuatan dan keteguhan hati menjadi lambang bahwa keberanian fisik harus diimbangi dengan kekuatan spiritual yang kokoh agar mampu bertahan dalam kehidupan.
Fakta ketiga adalah kehadiran Tari Ringkang Jawari sebagai ekspresi seni tari yang mengangkat kisah pahlawan wanita Banten. Tari ini lahir sebagai penghormatan terhadap keberanian dan semangat juang perempuan-perempuan Banten dalam mempertahankan daerahnya dari penjajahan dan ancaman luar. Tari Ringkang Jawari menggambarkan sosok wanita yang tidak hanya anggun dan cantik, tetapi juga kuat, tegas, dan penuh semangat perjuangan. Melalui gerakan yang dinamis dan penuh makna, tarian ini mengajarkan nilai kesetaraan gender serta pentingnya peran wanita dalam sejarah dan budaya Banten.
Fakta keempat menyoroti penggunaan Almadad sebagai properti utama dalam Tari Ringkang Jawari. Penggunaan paku besar ini bukan sekadar alat pertunjukan, melainkan simbol kekuatan dan ketegasan yang melekat pada karakter pahlawan wanita yang diangkat dalam tarian. Dengan memadukan unsur seni bela diri dan tari tradisional, Tari Ringkang Jawari menampilkan harmoni antara keberanian fisik dan keindahan gerak yang sarat makna. Hal ini memperkuat identitas budaya Banten yang khas dan membanggakan, sekaligus menunjukkan bagaimana seni tradisional dapat beradaptasi dan berkembang sesuai dengan konteks sosial dan budaya masa kini.
Fakta kelima berkaitan dengan sejarah penciptaan Tari Ringkang Jawari yang relatif baru, yakni pada tahun 2017. Tarian ini digagas oleh Bupati Kabupaten Serang, Hj. Ratu Tatu Chasanah, dan dikembangkan oleh Wiwin Purwinarti bersama Sanggar Wanda Banten. Proses penciptaan tarian ini melibatkan kajian mendalam terhadap sejarah, filosofi, dan nilai-nilai budaya Banten, sehingga menghasilkan karya seni yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga kaya akan pesan moral dan sosial. Tari Ringkang Jawari menjadi bukti nyata bahwa seni tradisional dapat terus diciptakan dan dikembangkan untuk menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan akar budaya.
Fakta keenam adalah makna simbolik yang terkandung dalam setiap gerakan Tari Ringkang Jawari. Gerakan-gerakan tarian ini dirancang secara cermat untuk menggambarkan perpaduan antara seni bela diri dan ekspresi budaya yang mengajarkan nilai-nilai keberanian, kesetaraan gender, dan semangat perjuangan. Musik pengiring yang menggunakan alat musik tradisional Banten seperti Calung Renteng, Patingtung, Terompet , Rebana Rudat dan Terbang Gede menambah keaslian dan kekayaan budaya tarian ini. Melalui tarian ini, penonton diajak untuk memahami dan menghayati nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Banten, terutama dalam konteks peran perempuan sebagai pilar kekuatan sosial.
Fakta ketujuh yang sangat penting adalah upaya pelestarian Debus dan Tari Ringkang Jawari yang terus dilakukan oleh berbagai pihak di Banten. Pemerintah daerah, komunitas seni, dan masyarakat secara aktif menyelenggarakan festival budaya seperti Festival Budaya Tanara sebagai wadah untuk memperkenalkan dan melestarikan kedua seni ini kepada masyarakat luas, khususnya generasi muda. Pelestarian ini tidak hanya bertujuan menjaga tradisi, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan leluhur dalam menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi.
Debus juga memiliki ritual khusus sebelum pertunjukan, yang melibatkan doa dan zikir sebagai bentuk penguatan spiritual. Ritual ini bukan sekadar formalitas, melainkan bagian integral dari seni Debus yang memperkuat hubungan antara manusia dan Tuhan. Dengan demikian, Debus menjadi sebuah seni yang tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik, tetapi juga kekuatan batin dan keimanan yang tinggi. Hal ini membuat pertunjukan Debus menjadi sangat istimewa dan penuh makna bagi penonton maupun pelakunya.
Tari Ringkang Jawari juga dikenal dengan kostum dan tata rias yang khas, yang didominasi warna coklat dan emas sebagai simbol keberanian dan keagungan. Tata rias wajah para penari menonjolkan kecantikan sekaligus ketegasan, menggambarkan karakter pahlawan wanita yang menjadi inspirasi tarian tersebut. Detail kostum dan riasan ini tidak hanya memperindah penampilan, tetapi juga memperkuat pesan simbolik yang ingin disampaikan melalui tarian, sehingga penonton dapat merasakan atmosfer budaya Banten yang autentik dan penuh makna.
Gerakan Tari Ringkang Jawari sangat dinamis dan penuh energi, mencerminkan semangat juang dan ketangguhan para pahlawan wanita Banten. Setiap gerakan dirancang untuk mengekspresikan keberanian, ketegasan, dan semangat perjuangan yang tinggi. Musik pengiring yang menggunakan alat musik tradisional Banten seperti Calung Renteng , Terbang Gede dan Patingtung menambah keaslian dan kekayaan budaya tarian ini. Kombinasi antara gerakan yang kuat dan musik yang ritmis menciptakan suasana yang menggugah dan memikat hati penonton, sehingga tarian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana penyampaian nilai-nilai budaya yang mendalam.
Selain sebagai hiburan, Tari Ringkang Jawari juga memiliki fungsi sosial dan edukatif yang sangat penting. Tarian ini mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender, keberanian, dan cinta tanah air kepada penonton dan masyarakat Banten secara umum. Melalui tarian ini, masyarakat diajak untuk menghargai peran wanita dalam sejarah dan budaya, serta menginspirasi generasi muda untuk memiliki semangat juang yang tinggi dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dengan demikian, Tari Ringkang Jawari menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan moral dan sosial yang relevan dengan kehidupan masa kini.
Dalam pelaksanaan Debus, penggunaan Almadad sering kali menjadi puncak atraksi yang paling ditunggu oleh penonton. Para pesilat menunjukkan kemampuan luar biasa dengan menusukkan paku besar ke tubuh, berjalan di atas paku, atau menahan pukulan keras tanpa terluka. Keberhasilan dalam melakukan atraksi ini menunjukkan tingkat kemampuan fisik dan mental yang sangat tinggi, yang diperoleh melalui latihan disiplin dan penguatan spiritual. Atraksi ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi dan membangkitkan rasa kagum terhadap kekuatan dan keteguhan hati para pemain Debus.
Seiring dengan perkembangan zaman, Debus dan Tari Ringkang Jawari mengalami berbagai inovasi untuk menjaga relevansi dan daya tariknya di mata generasi muda dan masyarakat modern. Inovasi tersebut dilakukan tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional yang menjadi inti dari kedua seni ini. Misalnya, penggabungan elemen musik modern atau penyempurnaan koreografi tarian agar lebih dinamis dan menarik. Hal ini penting agar seni tradisional ini tetap hidup dan berkembang, serta mampu bersaing dengan hiburan modern yang semakin beragam dan canggih.
Sanggar Wanda Banten memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga dan mengembangkan Tari Ringkang Jawari. Melalui pelatihan rutin, workshop, dan pertunjukan, sanggar ini berupaya menanamkan kecintaan terhadap budaya Banten sekaligus meningkatkan kualitas seni tari tersebut. Para penari muda yang dilatih di sanggar ini tidak hanya diajarkan teknik tari, tetapi juga nilai-nilai budaya dan filosofi yang terkandung dalam Tari Ringkang Jawari. Dengan demikian, generasi penerus dapat melanjutkan tradisi ini dengan penuh rasa bangga dan tanggung jawab.
Almadad sebagai simbol keberanian dan kekuatan juga menjadi inspirasi bagi masyarakat Banten untuk terus melestarikan tradisi dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Debus dan Tari Ringkang Jawari. Simbol ini mengajarkan bahwa keberanian bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal keteguhan hati dan semangat juang dalam menghadapi segala rintangan. Oleh karena itu, keberadaan Almadad dalam kedua seni ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat untuk selalu menjaga dan mengembangkan budaya mereka dengan penuh rasa cinta dan tanggung jawab.
Pendidikan seni tradisional di sekolah-sekolah dan sanggar tari menjadi strategi penting untuk memperkenalkan Debus dan Tari Ringkang Jawari sejak dini kepada anak-anak dan remaja. Dengan memasukkan seni ini ke dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler, generasi muda dapat mengenal, memahami, dan mencintai budaya mereka sendiri. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa bangga dan tanggung jawab untuk melestarikan warisan budaya yang sangat berharga ini.
Makna simbolik dalam Tari Ringkang Jawari, terutama penggunaan Almadad, mengandung pesan kuat tentang peran wanita dalam sejarah dan budaya Banten. Tarian ini memberikan penghormatan sekaligus inspirasi bagi kaum perempuan untuk terus berjuang dan berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan. Pesan ini sangat relevan dengan upaya pemberdayaan perempuan di era modern, sehingga Tari Ringkang Jawari tidak hanya menjadi seni pertunjukan, tetapi juga media edukasi sosial yang penting.
Debus dan Tari Ringkang Jawari bukan sekadar seni pertunjukan biasa, tetapi juga cerminan identitas dan jiwa masyarakat Banten yang penuh semangat, keberanian, dan cinta budaya. Melalui seni ini, masyarakat dapat menjaga warisan leluhur sekaligus menyampaikan nilai-nilai moral dan sosial yang relevan dengan kehidupan masa kini. Kedua seni ini menjadi bukti nyata bahwa budaya lokal mampu bertahan dan berkembang di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.
Dengan terus dilestarikan dan dikembangkan, Debus dan Tari Ringkang Jawari akan tetap menjadi kebanggaan budaya Banten dan warisan yang berharga bagi generasi mendatang. Upaya pelestarian yang melibatkan berbagai pihak akan memastikan bahwa seni ini tidak hanya hidup sebagai tradisi, tetapi juga berkembang sebagai sumber inspirasi dan identitas budaya yang kuat. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk mendukung dan menjaga keberlangsungan seni dan budaya yang menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI