Mohon tunggu...
Wiwiek Lestari
Wiwiek Lestari Mohon Tunggu... -

Penyandang cacat tubuh. Menulis adalah terapi jiwa www.wilestari.com instagram; @weelestari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngaku Deh, Jadi Perempuan Itu Susah!

19 Oktober 2016   17:33 Diperbarui: 19 Oktober 2016   18:02 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontemplasi sore 

Ngaku deh, jadi perempuan itu susah. Kita dibombardir dengan foto-foto editan di majalah mode yang mau mengajari kita definisi cantik itu apa. Rambut harus panjang ikal, kulit harus seputih seprai yang baru dikanji, pakai high-heels yang lebih tinggi dari halte busway, tidak ada habisnya.

Lagi nonton ibu Sri Mulyani sedang mblusukan ke kantor pajak? Tiba- tiba ada perempuan cantik langsing campuran bule (di Indonesia harus campuran supaya laku menjual) berusia 20 tahun yang tersenyum cantik sambil bilang,”Anda frustrasi karena habis melahirkan tidak kurus-kurus? Saya langsing karena minum Something Stupithin. Efektif melunturkan lemak tanpa diet ketat. ” Diikuti dengan soundtrack yang diharapkan bisa memacu adrenalin calon pembeli, bila mbak cantik separoh bule masih kurang menjual. Tidak lupa ditutup dengan langkah tubuh langsing dibalut rok sepan, rambut panjang ikal yang disibak dan beberapa pria yang menoleh memutar badan untuk mengagumi si mbak cantik.

Reaksi pertama kita mungkin menggerutu,”Ih langsing begitu tahu apa sih tentang lemak?” Lalu berjalanlah kita ke cermin setinggi badan dengan lampu yang disetel tidak kalah terang sama lampu meja operasi jantung. “Satu, dua, tujuh gelambir. Kayaknya aku memang perlu Somting something itu deh. Kalau ngga, kapan lakunya aku?” Dan lupalah kita pada ibu Sri Mulyani yang cerdas banget itu.

Kita sebagai perempuan sepertinya senang sekali berlomba membandingkan kecantikan dengan teman-teman kita sendiri, artis sinetron di televisi yang kita bahkan tidak kenal, sampai Kate Moss. Yah, memang dapat dimengerti. Manusia memang sudah terprogram dari sananya untuk membandingkan diri satu sama lain. Yang tidak wajar adalah bila kita mulai menilai dan menghakimi perempuan lain dari apa yang mereka kenakan, cara make-up mereka, atau bahkan gaya mereka berbicara. Bahkan meminta teman-teman kita tone down untuk menenggang perasaan kita.

Rasanya saya belum pernah mendengar ada laki-laki yang menelpon temannya sebelum janjian mau ketemu di mall dan berkata,”Eh bok, kamu jangan dandan ganteng-ganteng ya. Soalnya aku lagi ga dandan nih, nanti kebanting. “. Kemungkinan besar ada teman perempuanmu yang pernah bilang begitu kan? Atau mungkin Anda sendiri yang request begitu ke temanmu?

Teman- teman perempuan saya cantik dan modis dengan gaya yang menegaskan kepribadian mereka masing-masing. Saya memang selalu tampak dressed down jika dibandingkan dengan mereka. Dengan tinggi badan dan high heels mereka yang jika digabung mencapai 170 cm lebih, tinggi saya yang hanya 148 cm menjadi sangat mencolok. Tidak pernah sekalipun saya meminta mereka untuk tidak berdandan cantik dan mengenakan high heels. Tidak adil kan rasanya bila kita memaksa orang lain merendah hanya untuk membuat diri kita sendiri lebih tinggi?

Saya terlahir dengan cacat bawaan yang membuat saya harus melewati selusin kali operasi mayor agar dapat berjalan. Bekas luka panjang hasil karya seni dokter bedah di tubuh saya saling-silang membuat saya merasa seperti mantan bajak laut. Saya ingat bertahun-tahun lalu sulit rasanya melihat cermin dan berjalan bersama teman-teman saya. Mereka gemulai dengan sepasang sepatu stiletto dan saya terpincang-terpincang dengan sepatu olah raga butut yang harus saya pakai karena saya tidak dapat berjalan tanpa besi penampang di telapak kaki saya. Dulu mimpi saya sederhana saja, saya ingin mengenakan high heels 5 cm saja. Tetapi sejak saya sudah menerima bahwa saya tidak akan pernah mengenakan high heels (bisa pakai sandal jepit saja udah bahagia banget) dan mensyukuri apa yang saya miliki, sudut pandang saya berubah.

Saya belajar bersyukur bahwa kecacatan saya mengajari saya untuk tidak menilai value saya sebagai seorang manusia dari penampilan luar. Saya juga belajar untuk berhenti membandingkan diri saya dengan orang-orang lain. Seiring waktu saya semakin menyadari betapa kita sebagai perempuan terlalu banyak menggantungkan nilai diri kita dari kecantikan fisik. Saya beruntung bahwa saya terlihat terlalu berbeda untuk menghakimi diri saya sendiri dengan standar kecantikan yang normatif. Saat saya berhenti menghakimi diri sendiri, secara otomatis saya juga berhenti menghakimi . Saya menjadi kuat dari kelemahan saya.

Beberapa tahun lalu saya diundang pool party oleh seorang teman yang berprofesi sampingan sebagai model. Sayang sekali saat itu ia baru cedera, di betis kirinya terlihat memar hitam besar. Ia berkata pada saya bahwa ia tidak akan ganti baju renang karena tidak pede dengan memar di betisnya.
 Saya (nyengir gemas): “Jeung, kamu tuh cantiknya kelas dewi. Mau kaki kamu di-gips juga tetap cantik, apalagi cuma memar. Tidak ada yang akan merhatiin. Percaya deh sama aku. Kalau aku salah, aku traktir steak ya!”

Tetapi ia tetap tidak mau. Mungkin ia diam-diam jadi closet vegetarian, jadi takut saya traktir steak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun