Mohon tunggu...
Wiwik TriErnawati
Wiwik TriErnawati Mohon Tunggu... Pemerhati masalah sosial

Penggerak Literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

TKA dan Hak Anak Inklusi di Indonesia: Memastikan Kesempatan yang Adil di Era Pendidikan baru

25 September 2025   08:08 Diperbarui: 25 September 2025   08:08 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Halo Pedeka

November 2025 akan menjadi bulan yang bersejarah dalam dunia pendidikan Indonesia. Untuk pertama kalinya, ribuan siswa kelas XII SMA akan menghadapi sebuah asesmen baru yang dinamakan Tes Kompetensi Akademik (TKA). Namun, di balik narasi besar tentang transformasi pendidikan, ada sebuah pertanyaan mendalam yang sering terlewatkan: bagaimana peran TKA ini bagi anak-anak inklusi, dan apakah sistem ini benar-benar menjamin hak mereka untuk berpartisipasi dan berhasil?

Pelaksanaan Tes Kompetensi Akademik (TKA) bagi siswa kelas XII SMA yang dijadwalkan pada November 2025 menandai babak baru dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. TKA hadir sebagai asesmen sukarela yang bertujuan untuk memberikan data objektif mengenai capaian akademik siswa, melengkapi, dan tidak menggantikan, penilaian yang dilakukan oleh sekolah. Di balik tujuan mulia ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana peran TKA bagi anak-anak di sekolah inklusi?

Setelah Ujian Nasional (UN) dihapus, TKA muncul sebagai salah satu inisiatif Kemendikdasmen untuk memetakan mutu pendidikan nasional. TKA dirancang untuk mengukur kemampuan penalaran dan pemecahan masalah, bukan hanya hafalan. Hasil TKA dapat digunakan sebagai validator nilai rapor untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan sebagai pertimbangan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur mandiri.

Namun, yang paling penting, TKA tidak bersifat wajib. Sifat opsional ini merupakan bentuk penghormatan terhadap hak individu setiap siswa untuk menentukan jalan pendidikannya. Ini memberikan fleksibilitas, terutama bagi siswa yang mungkin memiliki jalur kelulusan atau kebutuhan khusus yang berbeda.

Selama bertahun-tahun, Ujian Nasional (UN) menjadi momok yang menentukan masa depan siswa. Sistem yang kaku dan berorientasi pada hafalan ini sering kali menciptakan tekanan luar biasa, baik bagi siswa maupun sekolah. Ketika UN dihapuskan, lahirlah sebuah ruang kosong yang diisi oleh berbagai inisiatif baru. TKA muncul sebagai salah satu respons, bukan sebagai pengganti UN, melainkan sebagai alat asesmen yang sukarela. Tujuannya adalah memberikan data objektif tentang kemampuan penalaran dan pemecahan masalah siswa, yang bisa menjadi pelengkap nilai rapor untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan pertimbangan di jalur mandiri Perguruan Tinggi Negeri (PTN). TKA diharapkan dapat mengukur potensi sebenarnya, bukan sekadar kemampuan menghafal.

Filosofi di balik TKA ini patut diapresiasi, karena ia memberikan fleksibilitas dan otonomi lebih besar kepada siswa. Mereka tidak lagi dipaksa mengikuti tes yang mungkin tidak relevan dengan jalur studi atau karier yang mereka pilih. Fleksibilitas ini, secara teoretis, juga harus mencakup siswa-siswa di sekolah inklusi, yang memiliki keragaman kebutuhan dan cara belajar. Namun, di sinilah letak kompleksitasnya.

Di sisi lain diharapkan nanti Tes Kompetensi Akademik (TKA) telah menjadi salah satu tolok ukur penting dalam menentukan kesiapan siswa kelas XII untuk melangkah ke jenjang pendidikan tinggi. Pelaksanaan TKA bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan juga simbol dari cita-cita pendidikan nasional dalam mencetak generasi yang cerdas, kompetitif, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Namun, dalam realita pendidikan di Indonesia, penyelenggaraan TKA sering kali masih dipenuhi berbagai persoalan, kurangnya sarana prasarana seperti pc, komputer dan laptop, dan terutama menyangkut kesetaraan akses bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau yang tergabung dalam pendidikan inklusi.

Hak Anak Inklusi dan Tembok yang Tak Terlihat

Pendidikan inklusi adalah amanat konstitusi dan undang-undang di Indonesia. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara tegas menjamin hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Sekolah inklusi telah berusaha keras untuk mengintegrasikan siswa berkebutuhan khusus ke dalam lingkungan belajar reguler. Namun, integrasi fisik hanyalah satu bagian dari persamaan. Tantangan sebenarnya muncul saat mereka dihadapkan pada sistem evaluasi yang seragam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun