Ketika publik membicarakan dunia pendidikan, narasinya kerap berpihak pada semangat perbaikan. Namun di balik semangat itu, sering kali kita lupa bahwa banyak sekolah---khususnya negeri---hari ini berdiri sendiri dalam pusaran masalah yang pelik, ditinggalkan oleh sistem yang seharusnya melindungi, dan kerap menjadi sasaran intimidasi dari berbagai arah.
Sekolah bukan hanya tempat belajar. Ia juga adalah institusi sosial yang berhadapan langsung dengan realitas masyarakat: kemiskinan, kekerasan rumah tangga, krisis moral, serta tekanan birokrasi. Namun sayangnya, ketika muncul persoalan, sekolah sering kali menjadi kambing hitam.
Kekerasan antarsiswa? Sekolah disalahkan. Kasus perundungan? Kepala sekolah dipanggil. Nilai jeblok? Guru dituding tak kompeten. Padahal banyak dari akar permasalahan itu justru berasal dari luar tembok sekolah---dari keluarga, masyarakat, bahkan sistem regulasi yang tumpang tindih.
Lebih ironis lagi, ketika sekolah mencoba bersikap jujur dan terbuka, justru datang intimidasi. Laporan ke media, sorotan dinas, bahkan ancaman hukum kerap dialami kepala sekolah atau guru hanya karena bersuara. Alih-alih dibantu menyelesaikan, mereka justru ditinggalkan bertarung sendirian dalam ruang gelap yang membungkam.
Belum lagi tekanan dari regulasi pusat yang terus berubah tanpa kesiapan infrastruktur di bawah. Sekolah harus menjalankan kurikulum yang fluktuatif, laporan digital yang tidak ramah akses, dan tuntutan administratif yang lebih menekankan pada kepatuhan ketimbang substansi. Kepala sekolah menjadi manajer, pelapor, pengatur logistik, bahkan pelindung sosial---semuanya dalam waktu yang bersamaan.
Ketika terjadi polemik di sekolah, tak sedikit orang tua yang menggunakan kekuasaan politik atau kekuatan sosial untuk "menekan" guru dan kepala sekolah. Padahal, pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Sekolah bukan satpam moral yang bertugas mengontrol perilaku anak 24 jam. Tapi stigma seolah semua kesalahan bersumber dari lembaga pendidikan terus hidup.
Dalam diam, banyak guru dan kepala sekolah mengalami tekanan psikologis. Mereka bekerja dengan beban ganda: mengajar sekaligus melindungi diri. Seringkali mereka harus memilih: diam agar aman, atau bersuara dan siap dikorbankan.
Apakah ini wajah pendidikan yang kita banggakan?
Sekolah tidak boleh terus dibiarkan menjadi korban dalam sistem yang tidak adil. Pendidikan tidak akan pernah maju jika lembaga pendidikannya terus-menerus dijadikan pihak yang paling mudah disalahkan. Kita butuh sistem yang lebih berpihak, perlindungan nyata bagi guru dan kepala sekolah, serta keberanian masyarakat untuk ikut serta menyelesaikan persoalan, bukan sekadar menunjuk dan menekan.
Pendidikan yang sehat hanya bisa lahir dari relasi yang setara: antara sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Jika satu pihak hanya menjadi objek tekanan, maka kita sedang menciptakan sistem pendidikan yang rapuh dan penuh luka.