Mohon tunggu...
Wiwik TriErnawati
Wiwik TriErnawati Mohon Tunggu... Pemerhati masalah sosial

Penggerak Literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BSU:Bantuan atau Ketergantungan?Menimbang Ulang Strategi Pengentasan Kemiskinan Indonesia di Tahun 2025

12 Juni 2025   07:23 Diperbarui: 12 Juni 2025   07:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar:detik.com

Memasuki pertengahan 2025, perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang paradoks: pemulihan ekonomi pasca-pandemi mulai stabil, namun disparitas sosial dan ketimpangan pengeluaran rumah tangga justru menguat. Solusi untuk mengatasi hal ini pemerintah Indonesia kembali menggulirkan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai respons atas tekanan ekonomi yang mendera kelas pekerja bergaji rendah. Di awal 2025, BSU kembali diaktifkan untuk mengompensasi daya beli buruh yang tergerus inflasi bahan pokok dan stagnasi upah minimum di berbagai provinsi. Bagi banyak pihak, BSU adalah bentuk hadirnya negara. Namun dalam jangka panjang, kita perlu bertanya lebih jauh: apakah BSU benar-benar menjadi jalan keluar dari kemiskinan, atau justru menciptakan ketergantungan yang memperdalam kemiskinan struktural?

Secara kasatmata, BSU tampak berhasil menjaga konsumsi rumah tangga bawah tetap berjalan, terutama pada masa krisis seperti pandemi atau ketika harga-harga naik tajam. Namun, jika dikaji lebih dalam dengan perspektif indikator internasional, efektivitas BSU untuk mengurangi kemiskinan menjadi diragukan. Menurut definisi terbaru dari Bank Dunia, kemiskinan ekstrem adalah ketika seseorang hidup dengan kurang dari USD 2,15 per hari dalam standar paritas daya beli 2022 (PPP). Tapi lebih dari itu, Bank Dunia menegaskan pentingnya melihat kemiskinan secara lebih luas sebagai bentuk keterbatasan kesempatan jangka panjang.

Kondisi ekonomi global yang dipengaruhi perlambatan pertumbuhan Tiongkok, kenaikan harga pangan akibat ketegangan geopolitik di Laut Merah dan Ukraina, serta perubahan iklim ekstrem, membuat tekanan terhadap harga-harga kebutuhan pokok makin tinggi. Di dalam negeri, inflasi makanan berada di atas 5% pada kuartal pertama 2025, sementara upah minimum naik tidak signifikan dibandingkan kenaikan biaya hidup di kota-kota besar.

Di tengah situasi ini, BSU kembali hadir sebagai penyelamat sementara. Pemerintah menyalurkan bantuan kepada pekerja bergaji di bawah Rp4 juta/bulan sebagai bantalan sosial. Namun, ini menimbulkan risiko kebijakan populis: mengandalkan BSU sebagai "pereda gejolak" ketimbang memperkuat fondasi ekonomi rumah tangga jangka panjang.

Menurut standar Bank Dunia, garis kemiskinan ekstrem saat ini berada pada USD 2,15 per hari (PPP), namun kemiskinan moderat diukur hingga USD 3,65 dan bahkan USD 6,85 untuk negara berpendapatan menengah. Sementara itu, Indeks Kemiskinan Multidimensi (MPI) yang digunakan UNDP menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya soal penghasilan, tetapi juga mencakup aspek pendidikan, layanan kesehatan, hunian layak, hingga akses sanitasi dan air bersih.

BSU, meskipun membantu menjaga daya beli sesaat, tidak serta-merta menyasar dimensi-dimensi kemiskinan non-moneter tersebut. Tanpa didorong oleh investasi dalam pendidikan keterampilan, jaminan sosial menyeluruh, dan penciptaan lapangan kerja bermutu, bantuan ini hanya bersifat tambal sulam.

Lebih jauh lagi, Indeks Kemiskinan Multidimensi (MPI) yang digunakan oleh UNDP mengukur kemiskinan melalui tiga dimensi utama: pendidikan, kesehatan, dan standar hidup  dengan 10 indikator spesifik di dalamnya. Dalam kerangka ini, BSU nyaris tidak berperan. Ia tidak mengurangi angka anak putus sekolah, tidak menjamin air bersih atau sanitasi layak, dan tidak meningkatkan kemampuan masyarakat untuk keluar dari pekerjaan informal. Maka, jika indikator global telah berubah menjadi lebih holistik, mengapa kebijakan kita masih terpaku pada pendekatan tunai jangka pendek?

Ketergantungan terhadap BSU juga berpotensi menciptakan apa yang disebut sebagai welfare trap,  jebakan bantuan sosial. Dalam kondisi di mana bantuan diberikan secara terus-menerus tanpa disertai exit strategy yang jelas, penerima cenderung tidak memiliki insentif untuk meningkatkan keterampilan, berpindah ke sektor formal, atau membangun usaha produktif. Situasi ini juga diperparah oleh lemahnya sistem jaminan sosial yang terintegrasi. Sebagai contoh, banyak penerima BSU tidak terdaftar dalam JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan), tidak terakses program Kartu Prakerja, dan tidak terhubung dengan layanan pelatihan atau pembinaan UMKM.

Di sisi lain, pemerintah tampaknya masih menggunakan BSU sebagai instrumen stabilisasi sosial-politik, bukan sebagai bagian dari pembangunan manusia berkelanjutan. Padahal dalam Poverty and Shared Prosperity Report (World Bank, 2022), disebutkan bahwa strategi pengentasan kemiskinan yang efektif memerlukan kebijakan lintas sektor: "Achieving shared prosperity will require investments in foundational skills, health systems, infrastructure, and safety nets that go beyond short-term transfers."

Artinya, tanpa perbaikan sistemik, BSU justru dapat memperlebar celah ketimpangan. Bantuan tunai jangka pendek memang penting, namun tidak cukup. Ia perlu menjadi bagian dari strategi makro yang berpijak pada perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin secara menyeluruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun