Kasus yang lagi viral dan disorot pada saat ini khususnya pada masyarakat Sunda adalah polemik ketika Arteria Dahlan, seorang politikus PDI P dan sekaligus anggota DPR, dimana akibat ucapannya saat rapat bersama Kejaksaan di DPR RI, meminta agar Kajati yang berbicara bahasa Sunda agar dicopot dari jabatannya.
Ucapan yang bernada rasis dan menimbulkan kontravensi khususnya dalam masyarakat Sunda berbuntut panjang dengan banyaknya kecaman dari masyarakat Sunda dan secara keseluruhan dalam masyarakat Indonesia.
Disadari atau tidak banyak dari kita yang menggunakan bahasa lokal atau daerah ketika berbicara dalam forum-forum formal, toh tidak ada yang merasa keberatan atau protes atas perilaku berbahasa tersebut.Â
Karena bahasa sebagai salah satu kekayaan bangsa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi bagi masyarakat pendukungnya. Selain sebagai alat komunikasi intraetnik, bahasa daerah juga berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional yakni bahasa Indonesia.
Dilihat dari fungsi bahasa daerah tersebut, sebagai seorang politikus seharusnya sangat memahami penggunaan bahasa daerah tersebut bukan sebagai fokus dari keseluruhan bahasa komunikasi  yang digunakan dalam forum formal, tetapi sekedar sebagai bagian pemanis agar tudak  terjadi ketegangan, mengakrabkan dan merilekskan suatu hubungan.Â
Namun kenyataan yang ada menjadi semakin miris jika suatu penggunaan bahasa daerah dikaitkan dengan pemberian sanksi pencopotan jabatan seseorang.
Perilaku yang ditunjukkan oleh politikus tersebut bukan suatu hal yang penting yang harus disoroti secara nasional atau dikomentari  dengan emosional dan balasan kecaman yang terkadang menjadi tontonan lucu bagi para netizen.Â
Fenomena tersebut bukan hal yang baru karena pafa saat ini sesuatu yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita terkadang harus dipaksakan menjadi viral dan terkenal di media sosial.Â
Disadari atau tidak, media sosial dianggap sebagai kekuatan besar yang pada akhirnya dapat menggiring opini masyarakat untuk mendukung atau membenci sesuatu.
Masyarat kita jika dilihat dalan kacamata persepsi teori Dramaturgi yang menjelaskan bajwa di dalam kegiatan interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukan sebuah drama.Â
Dalam hal ini, manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukan. Dunia ini bagai panggung sandiwara, seperti salah satu lirik lagu slow rock yang pernah populer di Indonesia.
Bagaimana menyikapi fenomena tersebut? Pada akhirnya akan kembali berpulang pada firi sendiri, apakah ingin menjadi diri sendiri atau ingin menjadi imitasi dari orang lain atau ikut-ikutan untuk nebeng menjadi terkenal dengan perilaku yang nyleneh, viral dan pada akhurnya menjadi terkenal.
Kalau dunia ini panggung sanduwara, maka bijaklah untuk bersikap atau berperilaku menjadi aktor, kalau bisa memilih jadilah aktor utama  bukan aktor abal-abal.