Musuh tak kasat mata yang kini menggerogoti bangsa Indonesia bukanlah ancaman dari luar, melainkan korupsi yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara. Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, melainkan pengkhianatan terhadap kesejahteraan rakyat yang merampas hak-hak masyarakat dan memperlambat kemajuan bangsa. Kasus-kasus korupsi besar yang terungkap, seperti skandal di PT Pertamina dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah, serta berbagai kasus lainnya di sektor minyak, asuransi, dan pengadaan barang/jasa, menunjukkan betapa kronis dan sistematisnya masalah ini. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlihatkan bahwa sejak 2004 hingga 2023, ribuan kasus korupsi telah ditangani, namun praktik ini masih terus berlangsung dan bahkan semakin kompleks. Korupsi telah menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, menggerogoti keadilan, merendahkan martabat bangsa, dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus menjadi perjuangan bersama seluruh elemen bangsa demi masa depan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Merujuk sumber yang saya dapat bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengusut kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina dan anak perusahaannya yang terjadi selama periode 2018-2023. Dalam penyelidikan ini, sedikitnya sembilan tersangka telah ditetapkan, termasuk pejabat tinggi Pertamina dan pihak swasta yang diduga terlibat dalam praktik korupsi sistemik.
Modus operandi korupsi yang terungkap sangat mencengangkan. Para tersangka diduga sengaja mengatur kebijakan untuk menurunkan produksi minyak kilang domestik, sehingga impor minyak mentah dalam jumlah besar menjadi keharusan. Padahal, aturan yang berlaku mengharuskan pasokan minyak mentah dalam negeri diutamakan sebelum melakukan impor. Kebijakan ini merugikan negara dan konsumen karena impor dilakukan dengan harga tinggi dan melalui mekanisme yang tidak transparan.
Selain itu, ditemukan praktik pengadaan minyak dengan spesifikasi yang tidak sesuai. Misalnya, pembelian minyak dengan Research Octane Number (RON) 92 yang merupakan standar Pertamax, tetapi yang dibeli sebenarnya adalah minyak dengan RON 90 atau 88 (pertalite) yang kualitasnya lebih rendah. Minyak tersebut kemudian dicampur atau di-blending agar memenuhi standar RON 92, sebuah tindakan ilegal yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Lebih parah lagi, Kejagung menemukan markup kontrak pengiriman minyak sebesar 13-15 persen yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu di anak perusahaan Pertamina. Praktik mark up ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun hanya dalam satu tahun, sebuah angka yang sangat fantastis dan menggambarkan betapa besarnya skala korupsi yang terjadi.
Harus seperti apa saya membayangkan kerugian negara yang mencapai hampir Rp 200 triliun? ingat kerugian besar seperti itu bukan hanya angka di atas kertas. Dampaknya sangat nyata dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Subsidi pemerintah yang harusnya digunakan untuk meringankan beban rakyat justru tersedot habis oleh praktik korupsi ini. Harga bahan bakar yang naik akibat markup dan impor yang tidak efisien membuat biaya hidup masyarakat semakin berat.
Korupsi di Pertamina juga mencederai kepercayaan publik terhadap institusi negara. Sebagai perusahaan milik negara yang seharusnya menjadi pilar ketahanan energi nasional, Pertamina justru menjadi ladang korupsi yang merusak reputasi dan efektivitasnya. Hal ini menghambat upaya pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan energi dan pembangunan berkelanjutan.
Kasus korupsi di Pertamina ini merupakan cermin dari masalah tata kelola yang sudah lama terjadi dan terus berulang. Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bahkan menegaskan perlunya reformasi struktural dalam tubuh Pertamina untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Reformasi ini harus mencakup perbaikan sistem pengawasan internal, transparansi pengadaan, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi tanpa pandang bulu.
Saya pikir, untuk tambahan dari banyaknya langkah-langkah yang harus dilakukan agar tidak terulangnya kasus serupa, bahwa pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan pendekatan pemiskinan pelaku, penolakan mereka dalam rekrutmen perusahaan negara, serta penguatan integritas dan tata kelola di perusahaan seperti Pertamina, sangat relevan dan strategis untuk menekan praktik korupsi yang merusak bangsa.
Pertama, memiskinkan pelaku korupsi merupakan langkah efektif yang dapat memberikan efek jera lebih kuat dibandingkan hukuman penjara semata. Para koruptor cenderung lebih takut kehilangan harta dan kekayaan daripada takut dipenjara, karena kekayaan tersebut menjadi sumber kekuasaan dan pengaruh mereka. Oleh karena itu, penerapan undang-undang pencucian uang dan perampasan aset hasil korupsi harus diperkuat agar kekayaan koruptor benar-benar disita dan tidak bisa digunakan kembali untuk melakukan korupsi. Langkah ini juga mengatasi kelemahan sistem peradilan yang selama ini memberikan potongan masa tahanan dan tidak cukup menimbulkan efek jera.