Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

The Supper Club

12 Oktober 2014   17:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:21 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413084419158901531


Apa yang Anda lakukan jika menyimpan sebuah rahasia yang luar biasa besar? Apa yang akan Anda lakukan jika orang yang Anda sayangi menyimpan rahasia yang bisa mengubah segalanya?

Rahasia. Itulah kata kunci dalam novel kesatulusinku ini. Tiap orang punya sisi gelap, sebaik apa pun dia di mata masyarakat. Pepatah yang mengatakan bahwa “tak ada gading yang tak retak” bukanlah isapan jempol. Ini dunia nyata. Manusia hero sempurna hanya ada dalm novel-novel inspiratif. Kita—di dunia nyata—harus selalu siap untuk berhadapan dengan sisi-sisi gelap yang meresahkan dan tak terduga.

The Supper Club berkisah tentang Ciara Rahmamurti, gadis desa dari Klaten yang bekerja di metropolitan Semarang sebagai sekretaris manajer HRD di perusahaan jaringan telekomunikasi Helman Communications (anak buahnya Wisnu Megantoro!). Ia cantik, supel, ramah, tak membedakan kawan, sehingga disukai banyak orang (baca: cowok) dan punya lingkup pergaaulan yang sangat luas.

Ciara ditaksir Fendy yang ketemu kebetulan di mal, Sena yang managing director perusahaan periklanan besar, dan Ganjar yang datang dari Jepara untuk melamar kerja sebagai satpam di Helman Comms. Belakangan ketahuan bahwa Pak Nuri, sopir taksi langganan Ciara yang tak lain adalah paman Ganjar, juga jatuh cinta padanya.

Pilihan akhirnya jatuh pada Sena yang ganteng dan macho—plus kaya raya. Saat ia sibuk meyakinkan diri sendiri bahwa ia suka Sena betul-betul karena kepribadian dan bukan “kepribadian” (rumah pribadi, mobil pribadi, sopir pribadi, etc.), masalah lain muncul. Ia punya feeling yang sangat kuat bahwa ia tak begitu disukai Bu Alamsyah, sang camer.

Pada saat yang sama, rahasia besar yang ia simpan bersama chef Danny soal klub kuliner mereka, The Supper Club, mulai memakan korban. Itu diawali dengan “kecelakaan tak perlu” saat Danny berkenalan dengan Erfi, teman kos Ciara, dan saling jatuh cinta. Akankah Sena ikut jadi korban? Bagaimana pula peran Toga, kawan sekantor Ciara, dalam persoalan ini?

TSC kutulis dengan eksperimen soal “genre yang berubah” dalam cerita yang sama. Awalnya seperti cerita roman, tapi belakangan bakal jadi bukan roman sama sekali. Inspirasinya muncul saat tujuh tahun lalu aku diminta cerpenis Budi Maryono AKA Nora Umres untuk menulis resensi film di Edisi Minggu Suara Merdeka, salah satunya adalah film Pesan dari Surga.

Film itu bergenre roman remaja biasa, tapi di penghujung cerita, genre-nya ujug-ujug berubah jadi horor, misteri, dan fantasi. Pada bagian belakang, tahu-tahu para tokoh (yang meninggal) menjelma jadi arwah dan muncul kembali dari alam kelanggengan untuk memberi pesan pada yang masih hidup.

Belokan itu mengagetkan karena tak sejak awal penonton dikasih clue atau tanda-tanda bahwa itu merupakan sebuah cerita misteri-fantasi (sepertinya itu karena ketidaktahuan, bukan karena didesain seperti tipuan maut di novel Pembunuhan atas Roger Ackroyd-nya Agatha Christie!).

Ilham lain datang dari Roger Ackroyd itu—plus pada zaman sekarang tahu-tahu ada serial The Blacklist dan Hannibal yang spirit ceritanya sama persis—yaitu tentang tokoh utama yang tidak seperti pada umumnya tokoh utama yang serba sempurna, heroik, cemerlang, dan memenangi apa yang diimpikan.

Ciara Rahmamurti tidak seperti itu. Dia tak seperti Daniarni Kusumaningrum, Dewi Eriandari, Farah Perdana, serta para tokoh utama lain di novel-novelku sebelumnya. Pembaca yang terbiasa dengan tokoh protagonis hero plus happy ending dijamin bakal terkenyut. Happy-nya tetep happy, tapi tidak seperti pada umumnya happy ending. Buktikan sendiri keampuhannya!

Seperti Say No to Love (2007), format orisinal TSC kupakai untuk Sayembara Cerber Femina, sekitar tahun 2008, pas aku masih di Majalah Gradasi bareng sastrawan Handry TM. Karena gagal menang, cerita asli setebal 40-an halaman lalu kubikin extended version-nya jadi novel setebal ini.

Dan mirip Grasshopper (2010), yang ini sebelumnya juga pernah kukirim ke penerbit lain dan ditolak. Hal itu tidaklah mengagetkanku, sebab TSC memang kumaksudkan sebagai proyek eksperimental. Ini sama sekali bukan jenis cerita yang masuk dua genre comfort zone-ku selama ini, yaitu teenlit dan metropop.

Sebagaimana sudah sering kuungkap, aku tidak termasuk dalam jenis pengarang yang “delapan buku nulis hal yang sama terus-menerus”. Aku kagum pada dunia sinetron Amerika yang selalu berani menghadirkan hal-hal baru dan berbeda. Juga pada Arswendo dan Seno Gumira yang bisa menulis cerita apa saja. Dan itu kuwujudkan dalam sejarah bookografiku sejauh ini.

Sejak novel ketiga (The Rain Within; 2005), aku terus gelisah mencoba macam-macam hal, baik dalam tema cerita, karakter, maupun teknik nulis. Dari sepakbola, band indie, wartawan majalah sekolah, komedi romantis, thriller-misteri badminton, hingga full horror, komedi soal grup dagelan, dan kemudian kupasan sinetron.

TSC adalah bagian penting dari proses evolusi itu, terlebih karena yang ini sebenarnya sudah jauh berbeda dari kelaziman sebuah metropop. Aku memprediksi para pencinta metropop bakalan resah membaca buku ini. Pertama, unsur ke-metropop-annya dalam hal happy-ending-sweet-romance sudah tak ada lagi. Dan kedua, ini juga sudah keluar dari kebiasaanku untuk menghadirkan cerita dan tokoh-tokoh yang down-to-Earth serta “nampak nyata” seperti dalam 11 novel sebelumnya.

Konsekuensinya jelas. Pembaca berkecenderungan untuk selalu terkejut dan tak merasa familiar pada setiap novel. Mirip penyanyi yang di album pertama nyanyi swing jazz, lalu album kedua jazz rock, acid jazz pada album ketiga, dan album keempat malah jazz campursari bossas boso Jowo. Bagiku, pekerjaan sebagai penulis adalah proses belajar, bukan semata soal ke-bestseller-an, tumpukan testimoni, atau urusan mengumpulkan fanbase.

TSC adalah persembahan bagi mereka-mereka yang selalu siap mengantisipasi dan menerima hal-hal baru dalam hidup, karena aku sendiri juga tak tahu apa yang akan kutulis dalam buku berikut. Bisa soal polisi, agen intel yang menyamar jadi cewek ABG penggemar Jong-kook, pocong yang teraniaya, alien dari Zeta Reticuli yang menyamar jadi pocong, atau pocong yang nggak sengaja masuk kapal bintang dan terbawa sampai rasi bintang Orion lalu menakuti para alien di sana...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun