Tulisan dirasa "enggak gue banget", "kurang menggigit", atau "kok cuman kayak gitu?". Tak hanya naskah harus direvisi, terkadang bahkan perjanjian kerja sama batal, dan uang muka yang sudah telanjur dibayarkan diminta kembali!
Harus diingat lagi bahwa penulisan dengan ghost adalah opsi paling akhir dengan paradigma yang serba tidak ideal. Memandangnya dari angle sastra dengan ukuran-ukuran yang serba paripurna adalah seperti, itu tadi, dikejar waktu karena nyawa harus diselamatkan namun malah menggugat ban mobil ambulans atau jadwal servisnya.
Tentu ini tak menjadi kesalahan klien, andai pihak penulis memberikan penjelasan gamblang sejak awal. Dan sebagian besar penulis hantu tak memberikan ini sebagai akibat ketiadaan prinsip-prinsip dasar ke-ghostwriting-an tadi. Sebelum memulai proyek kerja sama, klien harus mendapatkan informasi menyeluruh bahwa hasil akhirnya pasti jauh dari kata ideal.Â
Andai klien menginginkan standar karya yang ideal, tak ada jalan lain kecuali dia sendirilah yang menulisnya---at least ideal menurut opini subjektifnya sendiri, yang bisa berbeda jauh dari ukuran orang lain terlebih para pakar dan pengamat.
Hal mendasar lain yang harus dipahami dalam kerja sama penulisan hantu adalah bahwa keseluruhan naskah adalah milik pihak klien. Ini membawa kita pada beberapa konsekuensi penting.Â
Satu, penulis tak bisa memaksakan ide-ide dan standar idealistiknya ke dalam tulisan bersangkutan. Dia harus 100% nurut pada kemauan klien, sekalipun itu bertentangan dengan kaidah-kaidah penulisan umum. Dan dua, oleh karenanya, penulis harus dibebaskan dari tahapan editing dan revisi.
Proses itu sepenuhnya menjadi domain klien, semata lebih karena efisiensi waktu saja. Karena merupakan pemilik naskah, maka hanya dia yang tahu versi final naskah bersangkutan harus dibuat seperti apa. Mengembalikan ke penulis untuk fase editing dan revisi berkemungkinan membuang waktu, karena jika versi editan penulis dirasa belum pas, maka naskah akan sekali lagi harus dirombak.
Dan prinsip dasar terakhir yang harus disepakati kedua belah pihak adalah sifat kerahasiaannya. Ini terutama menjadi beban penulis. Ego yang tinggi bisa saja tak sanggup menerima kenyataan andai karya yang ia tulis sebagai ghost malah justru jauh melampaui pencapaian karya pribadinya sendiri. Ini bisa berimplikasi macam-macam, yang hampir semuanya tak menyenangkan.
Maka seorang ghostwriter seharusnya adalah seseorang yang telah paripurna dengan dirinya sendiri, dan sanggup mengendalikan segala bentuk hawa nafsu. Lalu ia justru akan mengajak klien untuk memberi penekanan khusus pada proses legalformal kerahasiaan itu. Mungkin dengan satu set perjanjian terpisah yang berkekuatan hukum lebih kuat.