Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Homeland" dan Politik Indonesia Terkini

4 Juni 2019   00:01 Diperbarui: 7 Juni 2019   05:02 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Claire Danes dan Mandy Patinkin dalam serial "Homeland" (Foto: TV Insider)

Dengan pengambilan gambar berbarengan dengan pemilu presiden AS tahun 2016, musim keenam Homeland berkisah soal presiden terpilih Elizabeth Keane (Elizabeth Marvel) yang menghadapi upaya pembunuhan tepat menjelang hari pelantikannya. Sebagai kawan dekat sang presiden, Carrie berupaya keras menghentikan upaya pembunuhan itu. Salah satunya adalah dengan menghentikan jaringan media penyebar hoaks yang dipimpin jurnalis kenamaan Brett O'Keefe (Jake Weber).

Carrie mendapat bantuan dari rekan-rekannya di komunitas intel seperti Max Pietrowski (Maury Sterling), Peter Quinn (Rupert Friend), dan juga eks mentornya di CIA, Saul Berenson (Mandy Patinkin). Mereka menemukan bahwa media massa produsen berita hoaks yang penuh ujaran kebencian milik O'Keefe ternyata didanai dan dijalankan komplotan politikus dan para jenderal yang menginginkan nyawa sang presiden terpilih. Sounds familiar?

Pada musim ketujuh, perubahan sikap politik Presiden Keane yang menjadi monster tirani membuat Carrie harus berseberangan pihak dengannya. Meski begitu, ia, Saul, dan Max kembali harus bersatu saat Presiden Keane menghadapi ancaman impeachment menjurus makar yang dilancarkan penuh kebencian oleh Senator Sam Paley (Dylan Baker).

Belakangan terungkap bahwa aksi-aksi heroik Senator Paley ternyata dikendalikan konspirasi terselubung pihak lain dengan agenda sendiri, yang sangat jauh dari patriotisme atau idealisme untuk memperbaiki nasib bangsa.

Gambaran gejolak politik yang hadir dalam dua musim terakhir ini menyadarkan kita bahwa apa yang kita ketahui tentang dunia politik tingkat tinggi di Ibukota sangat berbeda dari apa yang sesungguhnya terjadi di tingkat lapangan. Belum lagi jika keterkaitan konteks dan latar belakang mengenai berbagai data statistik dan indikator-indikator yang sangat tidak simpel ikut dimasukkan ke dalam perhitungan.

Mengapa begitu? Karena sosok-sosok semacam Presiden Keane, Saul, Kepala Staf Gedung Putih David Wellington (Linus Roache), atau Senator Paley bisa mengatur aspek mana saja yang boleh dibawa ke media massa (mainstream) dan jalur media sosial. Padahal "pengetahuan dan analisa brilian" golongan rakyat jelata seperti kita mengenai dunia politik kan hanya berasal dari kedua sumber itu, yang sama-sama tidak menjelaskan keseluruhan permasalahannya.

Kita baru bisa mengerti 100% duduk persoalan yang terjadi bila ikut dalam keseharian para tokoh itu secara komplet sejak awal masalah hingga penuntasannya. Dalam ilmu komunikasi terdapat teknik media framing, di mana penghadirkan berita ke media dapat dibungkus sedemikian rupa untuk menimbulkan efek yang diinginkan demi kepentingan-kepentingan tertentu, salah satunya urusan elektoral.

Hal yang sama bisa dipersepsi berbeda, terlebih dengan menyeleksi unsur mana saja yang sengaja dipertunjukkan pada publik untuk memancing efek tertentu tersebut.

Maka sesudah nonton Homeland, satu hal yang bakal langsung menohok kesadaran kita adalah bahwa kita semua ini sesungguhnya telah menjadi korban apus-apusan para politikus demi ambisi elektoral mereka.Yang kita tahu soal semua isu itu---misalnya tentang kecurangan pemilu, utang luar negeri, defisit neraca berjalan, anything---datang pada kita hanya melalui media massa (online) dan Facebook, Twitter,serta grup WhatsApp.

Dan yang sudah pernah belajar ilmu komunikasi pasti paham bahwa segala apa yang ada di media harus melewati "gate keeper". Para politikus menyeleksi mana-mana saja yang bisa diwartakan ke media, atau dimainkan melalui mesin-mesin media sosial. Lalu media-media massa itu, sesuai dengan afiliasi politik masing-masing, melakukan framing. Tak lupa pula media produsen berita hoaks seperti milik Brett O'Keefe ikut memanaskan situasi. Kembali, demi tujuan-tujuan tertentu sesuai pihak penyandang dana.

Apa yang kita ketahui soal politik pun hanyalah satu koma sekian persen dari keseluruhan cerita. Dan itu sesungguhnya tak lebih dari hasil sebuah pengaturan dari entitas kecerdasan yang lebih tinggi di atas sana. Tanpa kemauan belajar untuk mengetahui sebanyak mungkin hal secara objektif dan menyeluruh, kita rakyat jelata hanya akan, itu tadi, jadi korban apus-apusan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun