Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Podcast dan Larangan yang Tak Berlaku

30 Maret 2019   12:16 Diperbarui: 30 Maret 2019   13:05 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Podcast channel WW (Foto: Koleksi pribadi)

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah podcast makin populer di Indonesia. Bahkan aktor dan komedian Benakribo dalam channel podcast-nya, Level Up, mengungkap bahwa sejak 2017, audiens podcast Indonesia tumbuh sekitar 4.000%. Ini tentu peningkatan yang luar biasa, dan membuktikan bahwa pangsa pasar podcast di Tanah Air sedang mekar seperti cewek ABG. Mengantisipasi kalau ada apa-apa, saya pun tak ketinggalan mainan podcast, lewat channel yang saya beri julukan Weird Writer.

Apa itu podcast? Di Wikipedia dijelaskan, podcast adalah berkas episodik yang mayoritas berisi materi audio, namun dapat juga berupa video. Sebagaimana YouTube, pegiat podcast  beroperasi melalui channel. Ia memuat materi-materi yang terbagi secara episodik, maka tiap channel akan terbagi dalam beberapa episode, dengan durasi antara 10 hingga 60 menit, meski ada juga satu episode yang hanya berdurasi dua menitan.

Kalau buat saya pribadi, secara gampangnya podcast adalah mirip di YouTube tapi hanya berisi suara. Soalnya kalau berkasnya berupa video, ya sudah, langsung saja dikategorikan sebagai unggahan video, untuk dihadirkan melalui jaringan-jaringan media serupa YouTube.

Podcast biar saja sepenuhnya berupa audio, sehingga mirip seperti pembagian format pada era media elektronik tradisional dulu---jika berupa gambar hidup, adanya di TV; sedang jika hanya berupa suara, namanya radio. Maka klip video dan podcast akan menjadi ekuivalen kedua media itu pada era internet.

Istilah "podcast" sendiri berasal dari gabungan kata "iPod" dan "broadcast". Ada juga yang menyebutnya netcast, agar tak terlalu ngiklan Apple. Ini dicetuskan oleh jurnalis BBC Ben Hammersley pada tahun 2004. Tepat pada tahun yang sama, mantan VJ MTV Adam Curry bareng pakar software Dave Winer mencetuskan ide untuk mengunggah materi-materi informasi---jadi bukan musik---melalui gawai pemain audio portable.

Curry kemudian merilis podcast-nya, berjudul Daily Source Code, pada bulan Agustus tahun itu. Melalui DCS, ia berceloteh mengenai kehidupannya sehari-hari, berita-berita terbaru, dan juga memutar musik bebas lisensi keluaran Podsafe Music Network. Sesudah itu, podcast berkembang menjadi mirip siaran radio namun dengan konten-konten yang bisa disimak (dan diunduh) kapan pun oleh pendengar.

Di Indonesia, podcast berkembang agak belakangan. Pada saat YouTube dan vlogger sudah viral, podcast masih merangkak. Benakribo mengungkap, saat awal ia menekuni podcast dua tahun lalu, ia bisa dengan gampang meraih predikat top podcaster dengan jumlah listener tinggi karena memang audiens belum banyak.

Namun sesudah itu perkembangannya amat menjanjikan. Banyak channel baru bermunculan, dan mengulas banyak topik berbeda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Beberapa kanal podcast terkemuka di Indonesia di antaranya adalah Rapot (milik Reza Chandika dkk.), Box2BoxID, dan juga channel kisah horor Do You See What I See?. Perkembangan podcast tak terlepas dari sifatnya yang berupa audio, sehingga bisa disimak sembari mengerjakan hal-hal lain.

Maka bisa dikatakan bahwa podcast adalah satu-satunya materi terkait dengan gawai dan internet yang membuat larangan mengemudi sambil menggunakan ponsel menjadi tak berlaku.

Berkendara sambil mengoperasikan ponsel sangat terlarang karena fokus mata dan atensi kita harus dibagi antara aktivitas dan layar ponsel. Tapi jika hanya untuk mendengarkan podcast, tak jadi soal kita mengemudi mobil sambil mengoperasikan ponsel, sebagaimana kebiasaan kita selama ini untuk bermobil sambil mendengarkan musik atau siaran radio.

Karenanya, podcast sangat layak dijadikan sebagai salah satu sarana berkreativitas, bahkan berbisnis, mengingat kita bisa dan boleh saja mengunggah materi siaran audio apa saja ke dalam episode-episode di channel kita masing-masing. Dan ruang untuk berkreasi masih terbuka lebar, apalagi karena sebagian besar channel podcast Tanah Air (terutama yang masuk top 10 dari jumlah pendengar) melulu berkait dengan pandangan sang podcaster---mayoritas penyiar radio atau komika stand up comedy---tentang isu-isu sosial jagad urban metropolitan terkini.

Dan hampir 90% di antaranya, mungkin lebih, masih terkait dengan kejakartaan, baik dari sisi geografis basis operasi maupun konten. Hampir semua podcaster pasti menyapa dengan sebutan "elo-gue", bahkan termasuk mereka-mereka yang aslinya adalah warga Tenggarong atau Surakarta. Belum ada channel podcast yang bernuansa lokal, seperti Jawa atau Dayak, tak hanya dalam konten local wisdom-nya namun juga secara kebahasaan dan dialek. Ada channel podcast Banyumasan atau Tegal pasti seru tuh!

Dunia kepenulisan dan sastra sendiri masih sangat minimalis hadir di podcast. Tak satu pun dari 10 besar channel dengan pendengar terbanyak itu tadi yang bermuatan sastra. Maka terbuka peluang yang sangat besar bagi para penulis untuk menciptakan market lewat podcast. Unggahan materi episodiknya terserah imajinasi dan kreativitas kita.

Bisa tentang share pengalaman menulis, pelajaran dan tips nulis, kisah di balik buku-buku, atau pembacaan puisi dan cerpen. Bahkan bisa saja kita menghadirkan audiobook berseri lewat podcast. Bila tiap episode diputus dengan cliffhanger, pendengar akan selalu antre menunggu sambungan episode-episode berikutnya.

Saya pun masuk ke dalam ceruk pasar ini. Channel Weird Writer mayoritas akan berisi tips menulis, sebagaimana artikel-artikel tips nulis yang selama ini saya pajang di Kompasiana. Namun sesekali akan ada juga resensi (buku & film), wawancara dengan rekan-rekan penulis, pembacaan puisi atau cerpen, share cerita horor, atau sekadar ulasan saya terhadap berbagai fenomena yang kini berkembang di masyarakat.

Lalu di mana kita bisa mainan podcast? Kalau untuk video ada YouTube, maka ladang podcast yang utama adalah Anchor. Mengapa dia? Karena Anchor baru saja dibeli Spotify pada bulan Februari 2019 lalu dengan nilai mencapai $ 140 juta (hampir Rp 2 triliun). Sesudah pembelian itu, tiap channel di Anchor akan tersedia juga di Spotify, bersanding dengan channel-channel podcast terkemuka dunia dan juga dengan puluhan juta lagu dari berbagai artis musik ternama.

Dan di Spotify terdapat tak kurang dari 200 juta pengguna yang bisa saja kecantol materi podcast kita. Lalu, seperti channel YouTube, channel podcast Anchor juga bisa dimonetisasi melalui pemasangan iklan. Tak akan terlalu lama dari sekarang, kita akan melihat "Atta Halilintar", "Bayu Skak", atau "Suhay Salim"-nya podcast. Bisa saja itu Anda sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun