Pasca peringatan 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto, rakyat waras Indonesia kembali dibuat geram dengan tingkah-polah pemerintah. Alih-alih berpihak pada rakyat, justru berlaku sebaliknya. Salah satu sekaligus paling berbahaya adalah prahara pembahasan Revisi Undang-Undang TNI.
Tulisan ini tidak akan mengulas prahara yang terjadi, melainkan untuk mempertebal alasan sekaligus wawasan untuk tolak Revisi UU TNI. Tulisan ini merupakan kerisauan saya yang terjadi atas realitas sosial ekonomi di bawah rezim Prabowo (meminjam definisi publik yaitu rezim kegelapan Prabowo). Kerisauan ini didasari oleh ideologi politik yang saya yakini, maka dari itu, tulisan ini bukan analisis, tulisan ini semacam sinisme terhadap kondisi rakyat di bawah rezim gelap Prabowo.
Mengingatkan kembali, dalam The Communist Manifesto menekankan bahwa negara merupakan instrumen kelas penguasa untuk menindas kelas lain. Negara bukanlah entitas netral yang melayani kepentingan seluruh rakyat, melainkan alat bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dominasinya. Dalam konteks ini, masuknya militer ke ranah sipil bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi merupakan strategi kelas dominan untuk memperkuat kontrol atas masyarakat.
Militer, sebagai aparatus negara, berfungsi menjaga stabilitas kekuasaan dan mencegah ancaman dari kelas bawah yang tertindas. Dalam sejarah kapitalisme, peran militer tidak terbatas pada pertahanan negara dari ancaman eksternal, tetapi juga sebagai alat represif terhadap gerakan sosial dan politik yang mengancam kepentingan elit. Dalam analisis Marxis, negara cenderung menggunakan kekuatan koersif, terutama dalam periode krisis ekonomi dan sosial. Ketika struktur ekonomi menghadapi ketimpangan yang semakin tajam, penguasa sering kali mengandalkan militer untuk mengontrol masyarakat, termasuk dengan menempatkan mereka pada posisi-posisi sipil.
Masuknya militer ke sipil sering kali dikemas dengan narasi keamanan, stabilitas, atau efisiensi kinerja. Namun, di balik itu, ada upaya untuk memperkuat kontrol negara atas berbagai sektor kehidupan sosial. Dengan meluasnya peran militer ke ranah sipil, negara menciptakan mekanisme kontrol yang lebih ketat terhadap gerakan rakyat, serikat buruh, dan kelompok-kelompok progresif yang dianggap melawan kekuasaan. Militer tidak hanya berfungsi sebagai alat keamanan, tetapi juga sebagai aktor ekonomi yang memiliki kepentingan dalam sektor bisnis. Dengan masuknya militer ke ranah sipil, ada potensi bahwa kebijakan publik akan semakin diarahkan untuk melayani kepentingan korporasi dan elite ekonomi, bukan kepentingan rakyat secara luas. Tentu masih segar ingatan kita pada kasus yang menimpa Haris Azhar dan Fatia. Dari situ kita melihat bahwa, militer mempunyai kepentingan untuk mengamankan sumber daya. Sejak era Orde Baru, militer telah memiliki pengaruh besar dalam politik dan ekonomi, termasuk melalui sistem dwifungsi ABRI yang memberikan peran dalam pemerintahan sipil. Meskipun sistem ini secara formal telah dihapus, jejak kehinaanya kembali terlihat kuat dalam Revisi UU TNI yang memberikan ruang bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil. Hal ini semakin menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan, karena kebijakan publik menjadi lebih banyak ditentukan oleh aktor-aktor militer yang terbiasa dengan struktur komando, dan bukan dengan prinsip demokrasi partisipatoris.
Selain itu, masuknya militer ke dalam pemerintahan sipil dapat berdampak pada meningkatnya budaya represif dalam pengelolaan negara. Militer yang terbiasa dengan disiplin dan hierarki kemungkinan besar akan menerapkan pola yang sama dalam kebijakan sipil. Hal ini bisa berdampak pada pengekangan kebebasan sipil, pelemahan peran masyarakat sipil, serta kriminalisasi terhadap gerakan sosial yang dianggap mengancam stabilitas negara. Masuknya militer ke ranah sipil bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari dinamika kekuasaan. Ketika jalur-jalur demokrasi mulai melemah, negara cenderung mengandalkan alat-alat koersifnya untuk menjaga stabilitas sistem. Oleh karena itu, fenomena ini harus dipahami bukan hanya sebagai masalah birokrasi atau politik, namun sebagai bagian dari perjuangan kelas antara mereka yang berkuasa dan mereka yang tertindas.
Semoga di bulan Ramadan ini bukan saja membentuk kita menjadi manusia yang bertakwa, melainkan juga revolusioner.
Mari kita sambut Hari Raya dengan protes sosial di seluruh penjuru negeri!
Tidak ada yang lebih berbahaya bagi rakyat selain negara yang semakin haus akan dominasi. Ketika militer mulai masuk ke dalam jabatan sipil, hal itu bukan sekadar kebijakan administratif---itu adalah peringatan keras bahwa demokrasi sedang direnggut sedikit demi sedikit. Ini bukan tentang efisiensi atau stabilitas, ini tentang bagaimana kelas penguasa memperketat cengkeramannya atas masyarakat, memastikan bahwa rakyat tetap tunduk, dan suara-suara perlawanan dapat dibungkam dengan lebih mudah.
Militer bukanlah institusi yang diciptakan untuk melayani rakyat, mereka diciptakan untuk mempertahankan sistem yang ada. Sistem yang menindas, yang memuliakan segelintir orang, dan yang memastikan buruh, petani, serta rakyat melarat tetap berada di posisi bawah. Ketika mereka mengambil alih jabatan sipil, yang terjadi bukanlah pemerintahan yang lebih baik, namun negara yang semakin bersenjata melawan rakyatnya sendiri. Tidak akan ada ruang bagi kebebasan berbicara, tidak akan ada ruang bagi perlawanan. Kritik akan dianggap sebagai ancaman, perbedaan pendapat akan dianggap sebagai pemberontakan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!