Oleh: Wisnu Wardana
Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Corporate Social Advocacy (CSA) merupakan strategi komunikasi bisnis yang menempatkan perusahaan sebagai aktor sosial yang berani bersuara mengenai isu-isu penting di masyarakat. Jika Corporate Social Responsibility (CSR) lebih dikenal melalui program sosial bersifat filantropis, CSA hadir dengan menegaskan sikap perusahaan terhadap persoalan kontroversial seperti keadilan sosial, kesetaraan gender, perubahan iklim, hingga hak asasi manusia. Perubahan ini menjadikan perusahaan bukan sekadar pemberi bantuan, melainkan bagian dari solusi.
Dalam kajian ilmu komunikasi, CSA erat kaitannya dengan dialogic communication theory yang menekankan keterbukaan, kejujuran, serta kesediaan berdialog dengan publik. Stakeholder theory juga menjelaskan mengapa perusahaan perlu memperhatikan kepentingan berbagai pihak, bukan semata-mata pemegang saham. Gagasan pokok dari CSA adalah menciptakan keterlibatan emosional  antara merek dengan konsumen, sehingga hubungan yang terjalin melampaui sekadar transaksi ekonomi.
Strategi CSA lahir dari meningkatnya kesadaran masyarakat, khususnya generasi milenial dan Gen Z, yang menuntut transparansi sekaligus keaslian dari merek. Konsumen kian kritis terhadap sikap perusahaan dalam menghadapi isu sosial, bahkan rela mengalihkan loyalitas kepada brand yang dianggap lebih peduli. Kondisi ini memperlihatkan bahwa bersikap netral sering kali justru membuat perusahaan kehilangan tempat di hati publik.
Berbagai studi mengungkapkan konsumen cenderung lebih mendukung perusahaan yang berani mengambil sikap. Pilihan pembelian pun banyak dipengaruhi oleh konsistensi nilai sosial yang dijalankan perusahaan. Hal ini menjadikan CSA bukan sekadar teknik komunikasi, melainkan fondasi untuk membangun kepercayaan jangka panjang.
Salah satu contoh bisa dilihat dari kampanye global sebuah merek olahraga yang mendukung gerakan anti-diskriminasi dan kesetaraan ras. Meski menuai perdebatan, langkah ini justru menguatkan citra merek sebagai pelopor keadilan sosial. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa keberanian mengambil posisi sosial dapat mengubah potensi risiko reputasi menjadi keuntungan kompetitif.
Meski begitu, CSA tetap membawa tantangan. Perusahaan yang terkesan hanya ikut tren tanpa komitmen nyata sering dianggap melakukan woke washing atau greenwashing yaitu taktik di mana sebuah perusahaan mengklaim mendukung isu-isu sosial atau politik tertentu, seperti kesetaraan atau keadilan sosial, untuk membangun citra positif, padahal tindakan nyata mereka tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Tuduhan seperti ini bisa merusak citra, karena publik merasa nilai sosial hanya dijadikan alat pemasaran. Keberhasilan CSA bergantung pada integritas serta keselarasan antara ucapan dan tindakan.
Dari sisi komunikasi, CSA menuntut ketepatan dalam memilih pesan, saluran, dan gaya penyampaian. Media sosial, misalnya, menjadi arena utama perusahaan menunjukkan keberpihakannya. Namun, pesan harus disampaikan dengan narasi yang autentik, bukti nyata, serta kesiapan menghadapi kritik. Tanpa itu, advokasi sosial ini  berisiko dianggap sebagai kampanye kosong. Isu lingkungan menjadi salah satu tema yang paling sering diangkat dalam CSA. Perusahaan energi terbarukan, industri fesyen ramah lingkungan, hingga produsen makanan organik semakin gencar menyerukan pentingnya pengurangan emisi karbon maupun penggunaan plastik sekali pakai. Kampanye tersebut tidak hanya membangun kesadaran merek, melainkan juga mendorong perubahan perilaku konsumen menuju gaya hidup lebih berkelanjutan.
Selain lingkungan, isu kesetaraan gender dan keberagaman juga banyak diadvokasi. Berbagai perusahaan global berani menampilkan inklusivitas dalam iklan maupun kebijakan internal. Pesan yang tersampaikan adalah penghargaan terhadap perbedaan, sekaligus penguatan budaya organisasi. Langkah ini berkontribusi pada peningkatan loyalitas konsumen sekaligus memperkaya identitas perusahaan.