Mohon tunggu...
Wisnu Mustafa
Wisnu Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

pencari cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Preman Lahir Dari Rahim Kekerasan

27 Februari 2012   13:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:52 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330347711534040624

“eh pak tua bagi gua duit, cepetan, gue mau beli minuman nih”, seru anak muda itu.

“bapak belum dapat duit nak, dagangnya lagi sepi

“ah banyak omong luh, cepet ceban aja masa ngakada, sebilah pisau di todongkan ke perutku”

ehmmm, kutarik nafasku,perlahan kutarik laci, belum lagi aku mengambil uang, tangan pemuda itu sudah masuk ke dalam laci. Semua uang didalamnya di ambli, sampai kereceh-recehannya. Blas bersih laciku. Dengan santai pemuda itu pun berlalu. Kupandangi tubuh kurus Udin yangmenghilang dibalik sebuah lapo tuak. Tempat anak-anak muda seusianya menyiayiakan hidup mereka.

Aku kenal pemudaitu,meski mungkin dia sudah lupa. Ingatanku melayang pada peristiwa beberapa tahun lalu. Aku biasa mangkalberjualan dididepan sekolah, yang dikelola oleh sebuah yayasan swasta yang cukup besar.Mereka mengelola sekolah dari mulai tamankanak-kanak sampaiSMU. Murid-murid sekolah ini adalah pelanggan setiaku. Suatu saat kulihat sekelompok murid sedang mengerumuni seorang murid lainnya. Entah apa yang mereka perbincangkan, tak lama kemudian beberapa murid mulai memukulinya. Anak itu jatuh tersungkur. Mukanya lebam, bajunya sobek, namun dia tidak menangis. Aku bergegas menghampiri nya. Melihat kedatanganku merekapun bubar.

“kamukenapa nak, kok mereka memukuli kamu?

Anak itu terdiam, lalu pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah katapun.

Syarifudin, atau biasa dipanggil udin, akhirnya kutahu nama itu,Dia masih duduk dikelas satusmp saat itu. Anak-anak yang mengeroyoknya adalah kakak kelasnya.Udin dikenal sebagai “trouble maker” disekolahnya, ada saja tiangkahnya yang membuat kacau sekolah. Berkelahi, mencuri, memalak, menjadi kesehariannya. Tak heran jika keberaninnya itu seringkali berbuah pukulan seperti yang baru saja terjadi. Dai tidak pernah kapok meskipun untuk itu Guru sering menghukumnya dengan cara dijemur dihalaman sekolah. Seperti pagi ini, setelah upacara bendera, udin di perintahkan gurunya untuk tetap tinggal dihalaman sekolah. Tangannya memberi hormat kearah tiang bendera. Sudah lebih dari satu jam dia melakukannya.Entah kesalah apalagi yang dilakukannya.

Sore itu, aku pulang kerumah. Gerobak Somay ku sudah kosong. Di dekat perumahan kulihatkulihat udin . Hampir saja aku tak mengenalinya, wajahnya ditutupi topi hitam. Tangan kanannya memegang ganco sedang tangan kirinya memanggul karung. Ganco yang berujung runcing itu di pakainya untuk mengais-ngais sampah plastik. Botol-botol bekas minuman mineral dikumpulkannya. Hari sudah sore sebentar lagi magrib akan tiba. Udin tampak bergegas pulang. Arah pulangku tampaknya sejalan dengan jalan menuju rumah udin. Aku ingat di dekat rumahku memang ada pangkalan pemulung.

Udin sudah tidak terlihat ketika gerobak ku melewati jalan kecil itu. Dipinggir jalan ini berjejerrumah-rumah sederhana milik para pemulung. Deretan seng-seng usang berderet memagari “kompleks” para pengais sampah ini.Belum usai langkahku menapaki jalan kecil ini, tiba-tiba kudengar suara parau dari dalam sana,

“Din, lu cuma dapet segini?

“Iyyya pak, kudengar suara udin menyahut.

Plak…plak… , Aduuh, suara tamparan berbarengan dengan suara udin.

Penasaran akupun mendekati pagar. Dari lubang-lubang yang ada pada seng-seng karatan ini, kulihat udin sedang diinterogasi. Seorang lelaki tua berambut gondrong, dengan wajah yang menyeramkan tampak sedang memarahinya. Pak tua itu menarik rambutnya keras-keras, udin menyeringai kesakitan.

“lu makin males aja, tiap hari hasil mulung ngak pernah banyak, ngapain aja luh??

“yang mulung sekarang semakin banyak pak, kalau udah siang ngak kebagian sama yang lain”

“ya udah besok pagi-pagi luh jalan, mulung sampe dapet banyak!

“tapiUdin kan besok sekolah pak”

“udah luh ngak usah sekolah, mending nyari duit”

“Tapi pak,…….. Udin tak melanjutkan ucapannya, ……mata bapaknya melotot, tangannya terangkat keatas.

Sejak hari itu tak kulihat lagi Udin di sekolahnya.

*******

Itu adalah peristiwalima belas tahun yang lalu. Saat ini Udin adalah preman yang cukup disegani dikawasan ini. Udin dan kawan-kawannya kerap memalak para pedagang. Dari mulai pedagang kaki lima sampaitoko-toko disepanjang jalan ini.Tangan udin ringan sekalimenampar setiap orang yang dia anggap nyebelin. Tak heran jika Udin kerap dipanggil Udin Kepret. Dikampungku, kepret bisa berarti tampar.

Melihat perjalanan hidup Udin, teringatsebuah puisi yang ditulis di dinding sekolah

Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan/kekerasan, dia belajar membenci

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, dia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan hinaan, dia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, dia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, dia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, dia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, dia belajar menaruh kepercayaan

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, dia belajar menyenangi dirinya

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia pun belajar menemukan cinta dalam kehidupan

“CHILDREN LEARN WHAT THEY LIVE” Dorothy Law Nolte

************

“Assalamualaikum, suara itu mengagetkanku

“Waaalikum salam” aku tersenyum melihatnya. Pemuda itu mencium tanganku.

“ayah kenapa melamun?

“Ah ngakk apa-apa, kamu ngak mengajar?

“sudah pulang yah, hari ini kan anak-anak cuma ujian aja”

“Oh ya,tadi waktu pulang, liat ada yang jual buah duku, buah kesukaan ayah”

“wahh terima kasih ya nak”………..Aku tak sanggup melanjutkan kata-kata. Semua anak-anakku selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku.

Dalam hati, selaksa puji syukur kupanjatkan, Alhamdulilah Allah memberiku anak-anak yang shaleh dan berbakti kepada orang tuanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun