Tidak banyak manusia Indonesia yang bersipat pada khususnya, terlebih bagi pejabat dinegeri khatulistiwa yang bernama nusantara. Banyak pejabat dinegeri ini yang memiliki sipat tidak seperti negarawan, yang mendahulukan kepentingan rakyat yang dipimpinnya dari pada kepentingan pribadi, keluarga dan kroni kroninya.
Sifat manusia pada khususnya, pernah dikisahkan dalam sejarah Islam, setelah wafatnya Nabi Besar Muhammad SAW. Ketika itu Abu Bakkar Siddiq, menunjuk Umar Bin Khatab, untuk diangkat sebagai Khalifah (setingkat Presiden) di zazirah Arab. Namun Abu Umar menolak, dengan mengatakan bahwa dirinya tidaklah layak untuk diangkat menjadi khalifah.
Lantas Abu Bakkar bertanya, siapakah yang lebih layak untuk jabatan Khalifah itu. Tanpa ragu ragu Umar menjawab, bahwa yang paling layak untuk diangkat menjadi Khalifah adalah Abu Bakkar Siddiq. Barulah kemudian sepeninggal Abu Bakkar Sidiq, Umar dipilih menjadi Khalifah untuk menggantikan Abu Bakkar Siddiq.
Ucapan pertama yang dilontarkan oleh Umar setelah memegang jabatan sebagai Khalifah adalah “ Innalillahi Wainna Ilahi Roji’un” karena kata Umar jabatan Khalifah yang diberikan kepadanya adalah merupakan musibah. Bagaimana nantinya dia mempertanggungjawabkan atas kepemimpinan yang dilaksanakannya sebagai Khalifah dihadapan Allah SWT, ketika dia dimintai untuk mempertanggungjawabkan atas kepemimpinannya.
Lalu apa yang dilakukan oleh Umar, ketika dia menjadi Khalifah. Umar lebih mementingkan urusan pemerintahannya terhadap rakyat yang dipimpinnya, tanpa terkecuali apakah rakyat yang dipimpinnya itu beraga diluar islam, maupun yang beragama Islam, tanpa ada perbedaan. Termasuk terhadap keluarga dan para sahabatnya.
Setiap malam Umar secara diam diam meronda dilingkungan istananya, menghampiri setiap rumah rakyatnya, mendengarkan keluh kesah rakyatnya, kemudian menindak lanjutinya, tanpa mengulur ngulur waktu. Siapa saja rakyatnya yang datang menyampaikan pengaduan, langsung ditanggapi oleh Umar, dan ditindak lanjutinya.
Bahkan suatu hari seorang Jahudi, yang rumahnya digusur oleh seorang Gubernur, karena tidak layak sebuah gubuk berada dekat dengan rumah kediaman seorang Gubernur. Walaupun sang Gubernur telah melakukan negoisasi dengan sipemilik rumah, dengan menawarkan kompensasi ganti rugi, namun ditolak oleh sipemilik rumah, sampai sampai sang Gubernur mengatakan bahwa dilokasi dimana gubuk si Jahudi akan dibangun Mesjid. Namun sepemilik rumah tetap tidak memberikannya.
Maka dengan secara paksa sang Gubernur memerintahkan Satpol PP nya untuk menggusur rumah si Jahudi sehingga rata dengan tanah. Sijahudipun berpikir bahwa yang menggusurnya adalah Gubernur, berarti ada lagi jabatan yang lebih tinggi dari Gubernur. Sijahudipun mencari tahu siapa atasan Gubernur.
Setelah si Jahudi bertanya tanya, maka si Jahudipun tahu bahwa atasan Gubernur adalah Khalifah. Dan diapun mendapat penjelasan kalau Khalifah itu adalah Umar. Maka berangkatlah ia menemui Umar, walaupun dia tidak mengenal Umar.
Perjalanan untuk menuju kediaman Umar hampir memakan waktu satu bulan dengan menaiki onta. Sebelum sampai dikediaman Umar, ia melihat seorang laki laki yang berperawakan tegap tinggi, sedang tiduran dibawah pohon kurma.
Sijahudipun bertanya kepada laki laki itu tentang Umar. Laki laki itupun menjelaskan apa yang ditanya oleh Si Jahudi. Kemudian Umar balik bertanya kepadanya, untuk apa dia menemui Umar. Lantas si Jahudi itupun mengisahkan tentang gubuknya yang digusur oleh Gubernur untuk dibangun Mesjid. Umar mendengarkannya dengan penuh serius dan kesungguhan.