Indonesia memasuki jendela demografi emas yang akan mencapai puncaknya pada 2045, tepat saat republik ini berusia 100 tahun. Pemerintah mencanangkan visi "Indonesia Emas 2045" dengan fokus pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai fondasi daya saing global.Â
Namun, kualitas SDM tak bisa dibangun di atas fondasi yang rapuh, seperti kesehatan yang terganggu sejak remaja akibat kecanduan rokok dan vape.
Fakta pahitnya: jutaan anak Indonesia hari ini tumbuh dalam lingkungan permisif terhadap konsumsi rokok. Jika tidak ada intervensi nyata, impian menjadi negara maju di 2045 akan menjadi fatamorgana.
Prevalensi Rokok dan Vape: Data 2025 yang Mengkhawatirkan
Laporan Kementerian Kesehatan dan hasil Survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2025 menunjukkan bahwa:
*Prevalensi perokok anak (usia 10--18 tahun) melonjak dari 9,1% (2018) menjadi 13,8% pada 2025.
*Penggunaan vape meningkat tajam, terutama di kalangan remaja SMA dan mahasiswa, dengan prevalensi mencapai 11,5%, naik hampir dua kali lipat dibanding 2022.
*Lebih dari 60% anak usia sekolah terpapar iklan rokok di media digital dan luar ruang.
Fenomena ini bukan sekadar angka. Ini adalah gambaran suram dari generasi muda yang telah menjadi target industri nikotin sejak dini, menggunakan celah regulasi dan lemahnya pengawasan sebagai senjata utama mereka.
Rokok dan Masa Depan Generasi Muda Indonesia
Rokok bukan sekadar urusan kebiasaan. Ia adalah pembunuh diam-diam. WHO mencatat rokok sebagai penyebab utama penyakit tidak menular seperti kanker paru, jantung, dan stroke---yang seluruhnya menggerogoti produktivitas usia muda.
Konsumsi rokok sejak dini terbukti menurunkan fungsi kognitif, mengganggu konsentrasi belajar, dan meningkatkan risiko putus sekolah. Anak-anak yang kecanduan rokok cenderung memiliki performa akademik rendah dan lebih rentan terhadap perilaku menyimpang seperti konsumsi alkohol dan narkoba.
Bayangkan: generasi muda yang seharusnya menjadi tumpuan pembangunan justru kehilangan potensinya karena terjebak dalam candu industri tembakau.
Cukai Rokok: Pendapatan Negara yang Menyesatkan