Mohon tunggu...
Wisnu Darjono
Wisnu Darjono Mohon Tunggu... Presiden CSAS Indonesia ; Pembina Yayasan Dirgantara ; Dosen PPI Curug ; Pengamat Penerbangan, Masalah Sosial dan Kebijakan Publik

Hobi membaca dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Penerbangan, masalah sosial maupun Kebijakan Publik, diskusi dan bertukar pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alarm Sistemik di Tengah Bonus Demografi: Sarjana Menganggur

17 Juli 2025   07:01 Diperbarui: 17 Juli 2025   07:01 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

15 tahun menuju Indonesia Emas, kita dihadapkan  dengan wajah paradoks: di satu sisi, kita berbicara tentang bonus demografi dan kekuatan generasi muda terdidik; di sisi lain, lebih dari satu juta sarjana justru menganggur. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat bahwa 6,23% lulusan pendidikan tinggi belum bekerja---angka tertinggi dalam empat tahun terakhir.

Pertanyaannya: mengapa begitu banyak lulusan perguruan tinggi yang justru menjadi bagian dari statistik pengangguran? Apakah karena ekspektasi mereka yang terlalu tinggi? Atau karena dunia kerja yang belum siap menerima mereka?

Jawabannya bukan hitam-putih. Ini soal ketimpangan sistemik antara pendidikan, pasar kerja, dan pola pikir sosial yang belum sepenuhnya selaras.


Gelar Tak Lagi Menjamin Pekerjaan

Dalam realitas saat ini, memiliki gelar sarjana tidak otomatis membuka pintu dunia kerja. Banyak lulusan yang cemerlang di kelas, namun gamang di lapangan. Survei World Bank 2023 mencatat 53% perusahaan kesulitan menemukan lulusan yang siap kerja.

Penyebabnya? Kurikulum kampus yang belum sinkron dengan kebutuhan industri. Hanya sekitar 30% kampus yang memiliki program magang terstruktur. Sementara itu, mata kuliah berbasis keterampilan praktis---seperti pemrograman, analisis data, atau desain sistem---belum menjadi arus utama. Akibatnya, banyak sarjana yang paham teori, tapi gagap menghadapi kebutuhan kerja nyata.


Lapangan Kerja yang Menyempit

Pertumbuhan ekonomi nasional awal 2025 memang cukup stabil di kisaran 5%. Namun angka itu belum cukup untuk menyerap 600.000--800.000 sarjana baru tiap tahun. Dunia kerja formal---terutama BUMN, PNS, dan perusahaan besar---hanya menyerap sekitar 30% lulusan. Selebihnya harus bersaing di sektor informal, wirausaha, atau tetap menganggur.

Kondisi ini diperparah oleh otomatisasi dan digitalisasi yang terus menggantikan peran manusia dalam pekerjaan administrasi dan layanan dasar. Sarjana entry-level makin sulit menembus pasar kerja yang makin padat dan selektif.

Ketika Ekspektasi Tak Bertemu Realita

Salah satu faktor yang sering muncul adalah ekspektasi lulusan. Survei Katadata 2023 menyebutkan bahwa 60% sarjana menolak pekerjaan dengan gaji di bawah Rp5 juta, padahal upah entry-level di sebagian besar sektor berada pada kisaran Rp3,5--4,5 juta. Banyak yang hanya ingin bekerja di Jakarta atau di perusahaan ternama, meskipun peluang nyata lebih terbuka di daerah atau sektor-sektor non-tradisional seperti pertanian modern, energi terbarukan, atau startup daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun