Our Unwritten Seoul, salah satu drama Korea yang disutradarai Park Shin Woo dan ditulis oleh Lee Kang. Dibintangi oleh Park Bo Young dan Park Jinyoung, drama ini mengikuti kehidupan si kembar Yoo Mirae dan Yoo Miji, dua perempuan dengan kepribadian kontras yang menempuh jalan hidup berbeda namun tak pernah lepas dari tuntutan masyarakat.Â
Mirae dikenal sebagai pribadi ambisius dan sukses di dunia profesional, sementara Miji adalah sosok ceria yang hidup bebas dan penuh spontanitas. Namun, perbedaan ini justru menjadi pintu masuk untuk menggambarkan realitas yang lebih dalam: bahwa perempuan tak pernah benar-benar bebas memilih jalannya sendiri tanpa label, stigma, atau ekspektasi. Drama ini secara lembut tapi tajam menyelipkan kritik sosial, terutama soal bagaimana standar terhadap perempuan dibentuk dan diwariskan.
Standar Ganda Terhadap Perempuan
Drama ini menyentil persoalan klasik dalam masyarakat: perempuan selalu berada dalam posisi salah, apa pun pilihannya. Mirae yang sukses justru digambarkan dingin, terisolasi, bahkan mengalami depresi akibat tekanan kerja. Sebaliknya, Miji yang hidup dengan lebih bebas justru dianggap kekanak-kanakan dan tidak produktif secara ekonomi.
Hal ini mencerminkan bagaimana narasi sosial menilai perempuan melalui lensa performa eksternal, bukan makna hidup yang ia rasakan. Perempuan karier disebut tak feminin, sedangkan perempuan santai dianggap tidak dewasa. Â Drama ini dengan elegan membuka mata penonton bahwa sistem nilai masyarakat belum memberi ruang bagi perempuan untuk cukup, karena standar itu sendiri terus bergeser, tak pernah tuntas.
Representasi Perempuan dalam Dunia Profesional dan KeluargaÂ
Mirae digambarkan sebagai perempuan tangguh yang bekerja di lingkungan maskulin dan kompetitif. Meski ia meraih posisi, tempat kerjanya tidak memberinya rasa aman. Ia menjadi korban pelecehan verbal, gaslighting, bahkan harus menelan perasaan sendiri agar dianggap "profesional".
Dunia kerja dalam drama ini memperlihatkan bagaimana institusi masih dikendalikan nilai-nilai patriarkis. Mirae ditekan untuk tidak menunjukkan emosi, tidak menuntut haknya, dan selalu terlihat sempurna. Ironisnya, keberhasilannya justru menjadi senjata yang menyerangnya secara psikologis. Kondisi ini merefleksikan bahwa pencapaian perempuan tidak lantas mendobrak sistem karena sistem itu sendiri menolak untuk berubah.Â
Berbeda dengan Mirae, Miji mengisi peran sebagai perempuan yang menyeimbangkan emosi keluarga. MiJi yang ceria, hangat, dan empatik, secara tidak langsung memainkan peran tradisional perempuan sebagai penjaga harmoni keluarga. Ia menjadi jembatan komunikasi antara Mirae dan ibu mereka, menengahi konflik tanpa diminta, dan selalu berusaha "membahagiakan semua orang" meski mengorbankan dirinya.Â
Hal ini mencerminkan konstruksi lama dalam budaya patriarkal di mana perempuan dianggap sebagai "penanggung beban emosional keluarga", tanpa pernah diberi pengakuan atau ruang untuk lelah.