Mohon tunggu...
Wisa Irena
Wisa Irena Mohon Tunggu... Mahasiswa Jurusan Televisi dan Film

Suka tenggelam dalam buku, drama, dan film. Pecinta K-pop garis keras dan pengamat kepribadian sambil rebahan.

Selanjutnya

Tutup

Film

Pride and Prejudice: Ketimpangan Kelas yang Teredam Romantisme

29 Mei 2025   09:00 Diperbarui: 28 Mei 2025   22:41 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pride and Prejudice 2005 (Sumber: Universal Pictures)

Diadaptasi dari novel klasik karya Jane Austen, Pride and Prejudice adalah film drama romantis garapan Joe Wright yang dirilis pada tahun 2005. Film ini dibintangi oleh Keira Knightley sebagai Elizabeth Bennet dan Matthew Macfadyen sebagai Mr. Darcy. Film ini berfokus pada Elizabeth, anak kedua dari lima bersaudari dari keluarga menengah yang tinggal di pedesaan Inggris. Elizabeth digambarkan sebagai sosok perempuan cerdas, kritis, dan menolak pernikahan jika tidak didasari cinta.

Di permukaan, film ini tampak sebagai kisah cinta klasik antara seorang perempuan mandiri dari kalangan menengah  ke bawah dengan pria aristokrat dingin yang akhirnya luluh oleh keberanian dan integritas sang perempuan. Narasi ini dibalut dalam perbedaan kelas sosial yang mengesankan bahwa cinta mampu menembus batas-batas hierarki. Namun, di balik romansa tersebut, tersembunyi kritik yang lebih kompleks terhadap sistem kelas yang justru diredam oleh pesona romantisme.

Elizabeth, yang berasal dari keluarga tanpa gelar bangsawan, berhasil memikat hati Mr. Darcy, pewaris kaya dari kelas atas. Cerita ini seolah menjadi alegori tentang keadilan sosial, di mana cinta dianggap mampu menghapus sekat kelas. Tetapi, jika dilihat lebih mendalam, narasi tersebut membentuk ilusi romantik yang justru menutupi kenyataan pahit dari sistem kelas yang rigid. Alih-alih menantang sistem, Elizabeth justru "naik kelas" melalui pernikahan, sebuah solusi individual yang menyamarkan ketimpangan struktural.

Film ini menyiratkan bahwa ketimpangan bisa diselesaikan secara personal, yakni dengan menikahi seseorang dari kelas yang lebih tinggi. Meskipun Elizabeth sering dipandang sebagai ikon feminisme awal karena sikap kritisnya, pada akhirnya ia tidak benar-benar melawan sistem patriarki maupun hierarki sosial. Kemenangan Elizabeth justru menunjukkan bagaimana sistem menerima individu yang "cukup layak", bukan bagaimana individu menggugat sistem itu sendiri.

Perubahan karakter Mr. Darcy juga menarik untuk dikritisi. Dari sosok arogan yang sadar akan posisi sosialnya, ia berubah menjadi pria yang lembut ketika jatuh cinta. Ini menciptakan semacam rekonsiliasi fiktif, di mana kelas atas digambarkan mampu berubah dan menjadi penyelamat, tanpa harus kehilangan kekuasaannya. Kelas dominan cukup "jatuh cinta dan menjadi baik" untuk menebus struktur ketimpangan, tanpa perlu menyerahkan privilese mereka.

Ketimpangan ekonomi dan sosial hadir dalam film ini hanya sebagai latar, bukan sebagai isu utama yang digugat. Rumah mewah Darcy, pesta dansa para elit, dan hukum warisan yang diskriminatif hanya menjadi ornamen visual, bukan sumber persoalan struktural yang patut dipertanyakan. Kerentanan keluarga Bennet akibat warisan yang hanya diberikan kepada laki-laki atau keputusan Charlotte menikah demi bertahan hidup tak pernah benar-benar menjadi sorotan kritis.

Sinematografi film ini pun memperkuat ilusi tersebut. Lanskap pedesaan yang hangat, pesta bangsawan yang megah, dan musik latar yang lembut menciptakan pengalaman sinematik yang menenangkan. Keindahan visual ini secara tidak langsung menutupi ketimpangan yang menjadi fondasi cerita, sebuah bentuk ideological masking di mana struktur kekuasaan tetap lestari, hanya saja dibungkus dengan estetika.

Secara keseluruhan, Pride and Prejudice versi 2005 bukanlah kritik terhadap ketimpangan kelas, melainkan sebuah upaya memoles realitas sosial yang timpang dengan kilau romansa dan kemewahan visual. Cinta dalam film ini bukanlah alat revolusi, tetapi mekanisme integrasi. Alih-alih meruntuhkan sistem, Elizabeth justru diterima masuk ke dalamnya dan sistem pun tetap utuh, tak tergoyahkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun