Mohon tunggu...
Ibni Wiryateja
Ibni Wiryateja Mohon Tunggu... Mahasiswa - docendo discimus

Terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Calon Guru dan Krisis Kebanggan Profesi

1 Agustus 2021   19:34 Diperbarui: 1 Agustus 2021   19:39 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menjadi mahasiswa dalam disiplin ilmu pendidikan bukanlah hal yang mudah. Kuliah pendidikan nyatanya kini tidak lagi menjadi sebuah primadona di kalangan pemuda. Jurusan pendidikan adalah "anak tiri" dalam kemelut pemilihan jurusan saat masuk perguruan tinggi negeri. Dari 80 orang mahasiswa, yang benar-benar bertujuan untuk tulus mengabdi mungkin tidak lebih dari 30 orang. 

Rata-rata mahasiswa ini tidak lolos pilihan pertama, dipaksa orang rumah, terpaksa karena hanya itu adanya, sekadar mengisi waktu untuk tes tahun depan dan sebagianya. Kuliah pendidikan juga tidak se-prestise jurusan lainya, karena memang outputnya hanya guru ataupun dosen. 

Kita lihat guru sekarang, banyak lulusan pendidikan dengan gelar cumlaude yang berakhir di bimbel, guru bantu, guru ptt, penjaga perpustakaan, atau penjaga sekolah. Ya, kalau rajin mengembankan keterampilan jurnalistik, menulis, atau mengajar, mungkin bisa menjadi dosen, guru inspiratif yang penuh jawal seminar, penulis buku, wartawan dan sebagainya, tapi itu kecil prosentasenya. 

Sejak tahun 2021 ini, pemerintah tidak lagi membuka formasi guru CPNS, jika buka amat terbatas, sekedar pelengkap kebutuhan formasi lalu. Padahal jika kita lihat ya, paling-paling ekspektasi mahasiswa pendidikan macam saya ini diterima PNS, ngajar SMP atau SMA, bergaji cukup, dan ya... hidup lazimnya orang-orang. 

Menjadi ironi memang ketika profesi guru tidak lagi cemerlang seperti di abad 19-20 dengan status sosialnya. Meski upah tak seberapa dulu guru menjadi profesi yang cukup memiliki kelas. 

Para lulusan Kweekschool yang jika beruntuk bisa melanjutkan ke Belanda untuk menempuh Pedagogische academie voor het basisonderwijs, lulusnya memiliki gengsi yang cukup tinggi, mereka secara langsung akan menjadi kelas priyayi dan setara dengan lulusan STOVIA (sekolah dokter) dan OSVIA (sekolah pamong praja). 

Bukan apa-apa, walau gelar priyayi dianggap feodal oleh SJW revolusioner dan perlu dibasmi, namun setidaknya mereka punya kebanggan pada profesinya. Kini mereka juga masih sama dalam tiga hal, pertama gaji pokok, kedua pangkat, ketiga lama sekolah itupun jika sama sama pegawai negeri. Adan bisa lihat sendiri, para calon guru yang sekolah 4 tahun harus tetap menempuh satu tahun profesi untuk menjadi guru, dan anehnya, sekolah profesi ini juga terbuka untuk lulusan sarjana di luar jurusan pendidikan dan keguruan, sengkan dalam kedoskteran sendiri hal ini mustahil terjadi. 

Jujur penulis tidak membenturkan dua profesi, penulis hanya berusaha mengungkapkan realita yang memang terjadi. Penulis berpendapat  bahwa apresiasi yang diterima  profesi dokter sangatlah tepat, sekolah mereka sulit, mahal, dan berurusan dengan nyawa manusia, sudah sepantasnya mereka diapresiasi demikian. 

Namun yang jelas luar biasa adalah kecintaan pada profesi nya, mereka teramat bangga dan sangat ketat terikat kode etik sehingga tetap berusaha memerlukan pelayanan yang prima terhadap masyarakat.

 Alhasil apresiasi dan kepercayaan masyarakat pada profesi dokter terus meningkat. Nah, pertanyaannya kini pada profesi guru itu sendiri, sudahkah guru dan calon guru memiliki kualitas diri seperti para dokter? Selain menuntut apresiasi sepantasnya para pelaku pendidikan juga harus terus meningkatkan pelayanannya. 

Guru umumnya akan menduduki jabatan fungsional, jabatan ini sering kena "bully" dari para pemegang jabatan struktural, ini menjadi rahasia umum jika para pemegang Jafung (jabatan fungsional) harus "tunduk" pada titah pemangku jabatan struktural. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun