Mohon tunggu...
Daniel Wiratraur
Daniel Wiratraur Mohon Tunggu... Lainnya - Ad Maiorem Gloriam

WNI tinggal di Larantuka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Awas, Konsumerisme Mengintai!

13 Desember 2011   12:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh :

Daniel Wirat Raul

Staf Pada BKD Flores Timur

Mahasiswa Program Sosiologi Unversitas Terbuka

Dengan tepat Don Slater menggambarkan bahwa konsumsi pada esensinya adalah ihwal manusia dan actor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat memuaskan mereka. Dalam relasi itu, konsumsi mempunyai dimensi antara lainsebagai : menghabiskan (to exhaust), memakai (to use up), dan membuang (to waste). Jadi ternyata konsumsi tidak terbatas pada makan, sandang dan papan tetapi hadir pula dalam peristiwa seperti berdandan, berwisata, menonton, membaca, berkomunikasi melaui HP, menyelenggarakan pesta, mengunjungi diskotek dan panti pitrad, dll. Sementara itu, sebagai bagian dari konsumsi, konsumerisme merujuk padakonsumsi individu atau kelompok sosial yang didasarkan pada karakteristik yang berlebih-lebihan dan irasional.

Konsumerisme adalah konsumsi yang mencolok (conspicuous consumption) yang biasanya berpartner dengan nafsu untuk mengejar kekayaan berupa uang (pecunary culture). Konsumeris mendasarkan konsumsi mereka pada kesenangan semata dan demi menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa mereka memilikistatus sosial terpandang. Mereka merasa yakin kalau popularitas diri dan keluarga bisa diraih dengan melakukan pengeluaran berlebihan. Untuk mereka berlaku semboyan “saya boros maka saya terkenal”. Atas cara yang demikian para konsumeris terkurung dalam kepengapan hendonisme yang tidak lain merupakan manifestasi dari roh animalistik yang memperkuat hasrat barbarian untuk mendominasi dan memangsa (predatorianisme). Dan inilah yang dimaksudkan dengan irasionalitas dari konsumerisme.

Sebagai perilaku entah individu atau masyarakat, konsumerisme merupakan resultansi dari bekerjanya sejumlah faktor dan menurut Piere Bordieu konsumerisme bergantung habitus manakah yang dimiliki oleh masyarakat atau individu. Habitus adalah separangkat nilai yang dikelolah budi dan perasaan atas dasar peristiwa, benda, orang yang dicerap melalui kemampuan inderawi yang kemudian menjadi sarana orientasi, basis pertimbangan dari sejumlah sikap dan perilaku yang diambil. Dalam Bahasa Eduard Spranger, habitus juga adalah gugusan nilai-nilai yang dianut oleh individu atau masyarakat dan itu terentang mulai dari nilai teoretis menyangkut criteria benar salah, nilai agama, nilai estetis, politis, nilai sosial dan nilai ekonomis menyangkut criteria untung-rugi. Sampai di sini radar refleksi sosial kita bisa menangkap adanya signal konsumerisme yang sedang mencengkram tatanan hidup sosial budaya kita. Mulai dari penyelenggaraan pesta meriah rayakan suatu peristiwa entah itu agamis atau cultural di kantong tradisional pedesaan sampai dengan keglamouran dan keriuhan dunia hiburan di pusat perkotaan. Dalam ruang-ruang demikian ada sebuah keresahan yang menghinggapi sebagian individu apabila mereka belum masuk dalam ruang konsumsi barang dan jasa serta pengalaman simbolik.

Ternyata kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang dapat mengambil jarak dengan alam tidak mengotomatisasi bahwa manusia dapat menundukan alam di bawah kekuasaannya. Manusia tetap adalah bagian dari alam dan dalam perspektif demikian, konsumerisme merupakan sebuah isme berbahaya dan tidak dapat ditolerir atau ditampung oleh tatanan semesta. Perkembangan konsumerisme tak terkendali dan berada di luar kemampuan alam untuk dapat menanggungnya. Inilah sebuah buble of nature. Untuk meraih menetralisir dan mencapai keseimbangan baru pasca buble of nature, alam mengembangkan mekanisme self defence dan HIV Aids merupakan salah satunya. Munculnya HIV Aids sebagai penyakit mematikan, harusnya mencelikkan mata kita bahwa penggunaan daya-daya seksual (libido) telah keluar dari rasion de ertre-nya sebagai instrumentum prokreasi. Sakralitas dan intimitas seksual telah dinisbikan dalam ruang-ruang hedonism di mana kenikmatan disembah, dipuja dan dimuliakan.

Konsumsi berlebihan secara telanjang dalam suatu ruang hidup bersama juga bukan tanpa risiko. Konflik sosial yang menumpahkan darah bukan tidak pernah mengambil disparitas ekonomi sosial sebagai amunisi yang berdaya ledak tinggi. Kita masih teringat bahwa diseputar kerusuhan politik yang menggulungkan kekuasaan Presiden Soeharto ternyata para perusuh menimba semangat destruktifnya dari kebencian, prasangka terhadap minoritas orang kaya yang selain menguasai sebagian besar totalitas kekayaan negeri ini tapi juga memperlihatkan tingkah laku konsumsi yang amat berbeda dengan sebagian besar masyarakat yang lain. Persoalan sesungguhnya tidak terletak pada peraihan dan perolehan kekayaan oleh siapapun tetapi ketika pola konsumsi ekstrim diperagakan dalam sebuah ruang sosial di mana bagian terbesar masyarakatnya masih belum mampu menembus batas konsumsi minimal, maka konsumerisme adalah percik api yang siap menyulut petaka sosial.

Akhirnya mengikuti Veblen, konsumerisme merupakan suatu pemborosan yang merugikan masyarakat secara luas, menciptakan inefisiensi dan membangkitkan prasangka dan kebencian antara kelas sosial yang pada gilirannya menguras energy masyarakat untuk meraih progresivitas sosial yang berdasarkan keadilan, solidaritas dan tenggang rasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun