“ Kita hidup di era yang ditandai oleh terurainya ikatan keluarga yang dulunya pernah mengikat ”(pandangan kaum konservatif)
Maraknya pemberitaan tentang perceraian terlebih yang terjadi atas keluarga kaum selebritis menjadi sebuah hentakan pada ekspektasi sosial kita akan suatu kehidupan keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Kekecewaan sosial tersebut menyisakan pertanyaan, apakah sudah sedemikian rapuhnya bangunan keluarga dewasa ini, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali harus menyatakan perceraian?
Perceraian melemahkan harapan konservatif akan sebuah perkawinan yang langgeng (hanya maut yang memisahkan) dan membawa akibat negatif karena keluarga memiliki ikatan emosional yang paling erat, intim dan mendalam di antara para anggotanya.
Peran Keluarga
Keluarga melaksanakan peran yang eksklusif. Pertama dan terutama, dengan membentuk keluarga pasangan yang melangsungkan perkawinan menyatakan komitmen dalam sebuah ikatan lahir-batin mencapai kebahagiaan.
Peran biologis yakni melahirkan anak dan mengembangkan keturunan demi mempertahankan kelangsungan hidup. Jika peran melahirkan tidak dapat dilaksanakan maka tidak menutup kemungkinan untuk pengangkatan atau pengadopsian anak karena keluarga bukan saja mereka yang terhubung secara pertalian darah tetapi juga secara pengangkatan atau pengadopsian.
Peran afeksi yakni membangun hubungan yang harmonis dan intim antara anggota keluarga baik itu hubungan suami-isteri maupun hubungan orang tua – anak. Peran ini amat penting untuk pembentukan karakter dan kepribadian anak.
Peran ekonomis, sosialisasi dan edukasi yaitu pemenuhan kebutuhan fisik-ekonomis dan pengenalan serta penanaman nilai-nilai luhur, kebajikan sebagai bekal bagi anak.
Peran perlindungan yaitu orang tua sebagai pelindung anak dan anak-anak merupakan perlindungan orang tua di masa lanjut usia.
Oleh karena peran keluarga yang eksklusif maka perceraian adalah momok sosial yang perlu ditekan.
Perceraian berhubungan dengan penyesuaian keluarga terhadap perubahan dalam siklus hidup keluarga yang biasanya dihitung mulai dari saat pertama pasangan itu menikah sampai salah satu darinya meninggal dunia.Dengan begitu, keluarga berada dalam suatu dinamika yang terus berkembang sehingga perubahan terkadang mempengaruhi kelangsungan hidup keluarga bahkan menciptakan krisis. Kemampuan adaptiflah yang mendeterminasi kepuasan dan kekecewaan keluarga.
Kekecewaan biasanya muncul dalam keluhan antar pasangan yang menikah. Berdasarkan studi Terman tahun 1983 yang melibatkan 792 pasangan diketahui bahwa hal yang paling dikeluhkan isteri terhadap suami adalah egois, gagal dalam kerja, tidak jujur, banyak mengeluh, kurang menyayangi, ketidakterbukaan, menang sendiri, tidak perhatian pada anak, tidak betah di rumah. Sebaliknya hal-hal yang paling dikeluhkan suami terhadap isteri yakni banyak mengomel, kurang menyayangi, egois, terlalu banyak intervensi urusan/kesenangan suami, ceroboh/teledor, lekas/mudah marah, angkuh dan tidak jujur. (RB Soemanto:2009).
Relasi seksual dan perceraian
Marc Iver dan Page menyebut bahwa salah satu fungsi pokok keluarga di jaman modern selain prokreasi untuk melahirkan dan membesarkan anak tetapi juga kepuasan hubungan seksual suami isteri . Pada zone peranan afeksi keluarga, krisis relasi seksual mudah meletup.Dan ini didukung individualisasi yakni sejumlah gejala di mana masyarakat yang tidak lagi mau tergantung pada pada tradisi sosial, adat istiadat dalam pembentukan identitas diri dan seksualitas mereka tetapi lebih mendasarkannya pada pilihan dan keputusan pribadi. Individualisasi melihat bahwa perkawinan tidak lagi memegang hak istimewa dalam hubungan seksual karena hubungan seksual bisa saja dilakukan di luar atau di dalam perkawinan.
Tidak diharapkan bahwa konflik dan krisis yang dialami oleh keluarga harus bersolusi perceraian karena perceraian memecahkan masalah sekaligus menyebabkan masalah berikutnya. Perceraian adalah gambaran institusi keluarga yang terancam bahaya oleh karena baik pasangan menikah yang tidak mempunyai anak dan apa lagi pasangan yang mempunyai anak, perceraian melahirkan akibat-akibat destruktif terlebih bagi anak-anak. Menurut Paul Amato dan Alan Booth, terlalu tinggi harga yang dibayar masyarakat kita yang memilih hidup berpisah dan bercerai. Perceraian mungkin penyelesaian yang tepat bagi orang dewasa, tapi tidak untuk anak-anak, karena anak-anaklah yang menderita dampak destruktif dan menyakitkan dari perceraian itu dalam jangka panjang serta menimbulkan kekaburan persepsi anak terhadap diri, seksualitas, dan hubungan-hubungan intim.
Orang tua dalam keluarga konflik tinggi sebenarnya demi anak-anak mereka, berusaha untuk tetap bersama dan melakukan beberapa pengorbanan demi memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua.
@@@@@@@@@@@@@@@