Mohon tunggu...
Wirati Astiti
Wirati Astiti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

simple and keep smiling. Sekadar ikut berceloteh di sini. Panggil saja aku Rathi dari Denpasar Bali. silakan kunjungi juga blogku di: http://rathikumara.blogspot.com dan http://dapurwirati.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prof. Sudewa Djelantik, Urusan Darah sampai Anak Asuh

29 Juni 2012   13:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:25 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340933286193808329

[caption id="attachment_191346" align="aligncenter" width="536" caption="Prof. Sudewa bersama keluarga"][/caption]

Sejak tahun 1975, ia sudah berkarier di Unit Donor Darah PMI Daerah Bali sampai dipercaya menjadi Kepala Unit Donor Darah PMI daerah Bali, yang berkantor di areal RS Sanglah. Prof. Dr. dr. A.A. Gde Sudewa Djelantik, Sp. Pk. (K)  terus berkomitmen memajukan donor darah siaga di Bali. ”Saat ini sudah ada desa siaga mandiri donor darah. Denpasar dan Badung sudah tertata rapi dan baik,” ujar Ketua Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Bali dengan bangga.

Guru Besar Patologi Klinik FK Unud ini menuturkan, bagi yang membutuhkan donor, sekarang mereka tidak perlu cemas lagi. Dengan bantuan para kepala desa di wilayahnya, mereka bisa mendapatkan donor dari krama desa setempat. Menurut konsultan medis Laboratorium Prodia ini, donor darah di Bali merupakan pelayanan donor paling baik di Indonesia karena para pendonor dijemput  langsung ke tempat mereka bekerja sehingga mereka rutin dapat melakukan donor darah sesuai jadwalnya dan ketersediaan darah di PMI Bali terus diupayakan. Namun, ada satu yang menjadi pemikirannya. Bagaimana meningkatkan kesehatan para pendonor itu sendiri. ”Kalau mereka sakit, mereka perlu  pengobatan. Karena banyak juga pendonor hanya sebagai petani. Ini yang perlu kami pikirkan,” tandas lelaki yang selain sibuk sebagai dokter juga sebagai dosen ini. Ketika ditanya, mengapa ia tertarik dengan ilmu patologi klinik, hematologi dan bank darah, ia hanya tertawa. ”Yang jelas masuk dokter tujuannya ingin membantu sesama,” kata satu-satunya profesor bagian patologi klinik ini. Punya Anak Asuh Cepat iba melihat penderitaan orang lain, begitu yang dirasakan  suami Made Ngurah Dewi Indawati ini. Cucu tertua Raja Karangasem ini  menuturkan, sejak masih kuliah di FK Univ. Airlangga Surabaya, ia sudah rutin melakukan donor darah. Membantu sesama itulah yang ada dalam pikiran lelaki yang sudah hampir 75 kali mendonorkan darahnya ini. Jiwa mulianya kembali termotivasi ketika melihat ayahnya sendiri alm. A.A. Ketut Djelantik memiliki anak asuh.  Sewaktu kuliah, Prof. Sudewa sudah tergerak hatinya  membantu anak-anak korban bencana Gunug Agung.  Namun, uang bekal yang disisihkannya untuk membantu para korban ternyata sia-sia karena tidak digunakan dengan baik oleh para korban. ”Uang yang saya berikan malah dipakai orangtuanya berjudi. Akhirnya saya berpikir apa yang harus dilakukan agar bantuan saya tidak sia-sia,” kata lelaki yang saat ini memiliki 30 anak asuh di rumahnya ini. Akhirnya, para korban ditampung di rumahnya dan dijadikan anak asuh oleh keluarganya. Suatu ketika, ia bertandang ke salah satu yayasan di Surabaya untuk menyumbangkan pakaian bekas untuk anak-anak yang ditampung di panti tersebut. Namun, ia kaget karena mendapatkan seorang bayi yang terlantar. Ia  memutuskan merawat bayi malang itu. Atas bantuan ibu kos-nya di Surabaya, Sudewa remaja akhirnya memiliki satu anak asuh. Uang yang dikirimkan orangtuanya dari Bali justru sebagian besar dihabiskan untuk membelikan susu bayi berjenis kelamin perempuan itu. Sampai ia lulus menjadi dokter dan menikah, bocah perempuan itu terus diasuhnya sampai besar dan menikah. Namun, malang nasib perempuan itu, suaminya meninggal. Prof Sudewa tergerak hatinya untuk kembali menjadi orangtua asuh bagi anak perempuan itu. ”Saya punya cucu asuh deh,” tuturnya sembari tertawa. Sejak kejadian itu, dia sendiri heran, ada saja orang mengantarkan anak mereka ke rumahnya. Ada anak yang terlantar, ada juga anak dari orangtua yang miskin. ”Mungkin dari mulut ke mulut,” tambahnya. Prinsip Prof. Sudewa hanya satu, ia hanya membantu memberi makan dan pendidikan. Ia juga tak menuntut apapun  setelah itu. Yang jelas, setelah mereka bekerja, ia hanya berharap, mereka dapat membantu orangtua mereka masing-masing. ”Kalau sudah bekerja mereka tetap ingin tinggal bersamanya, ia masih memberi kesempatan. Namun, kalau sudah menikah, saya sarankan mereka  tinggal di luar. Tempat tinggalnya tidak cukup,” tuturnya. Terapkan Toleransi Tiap hari rumah Prof. Sudewa selalu ramai. Bukan karena kedatangan tamu,  tapi keriuhan suara anak-anak asuhnya. Ada dua bilik disiapkan, khusus perempuan dan laki-laki. Anak asuh yang tinggal bersamanya mulai dari SD sampai kuliah. Mereka terdiri dari lintas agama, ada beragama Hindu, Islam, dan Kristen.  Sebagian besar  anak asuhnya setelah menamatkan pendidikan bekerja di RS Sanglah. Untuk urusan pekerjaan, anak asuhnya memiliki jadwal  piket giliran. Mulai dari memasak, menyuci, menyeterika, membersihkan rumah, termasuk menjaga ruang praktik Prof. Sudewa. Ada satu prinsip yang diterapkan Prof. Sudewa sekeluarga kepada semua anak asuhnya. ”Kami selalu  mengajarkan mereka untuk toleransi. Karena, dengan menjalankan prinsip itu di keluarga, mereka pasti melakukannya juga di luar rumah. Buktinya, saat yang Hindu harus melakukan persembahyangan yang agama lain mengantar, begitu juga sebaliknya. Kami bahagia mereka sangat rukun,” ujarnya tentang kiatnya mendidik anak asuhnya. Karena prinsip itu pula, sejak pertama ia memutuskan memunyai anak asuh sampai sekarang, tak ada keributan berarti yang terjadi. ”Semua aman-aman saja. Kalau pun ada masalah pertengkaran, paling masalah kecil, siapa yang jadwal bersihin rumah,” lanjut Prof. Sudewa. Keputusan menjadi orangtua asuh tak lepas dari dukungan istri  dan kedua putra-putrinya A.A. Ayu Karmila Djelantik dan A.A. Made Dewandra Djelantik.  Bahkan, menurut Prof. Sudewa, istrinya sudah sejak pacaran ikut bersamanya rutin menyumbang ke yayasan.  Saat memiliki anak asuh sewaktu kuliah,  Dewi ikut berperanserta mengasuh bayi malang tersebut. Namun, ada satu kejadian yang tak terlupakan baginya. Saat seorang bayi dengan berat badan hanya 2 kilogram dibawa ke rumahnya tengah malam sekitar pukul 12 malam. Anak itu begitu menyentuh hatinya dan keluarga. Karena kondisi kesehatan bayi malang itu, ia sekeluarga begitu perhatian dan mereka menjadi sangat dekat. Bahkan, anak itu tak bisa tidur kalau tidak memegang tubuh ayah barunya yang  kerap dipanggil Ajung.  Kedekatan ini diakhiri dengan cerita indah. Rama, nama yang diberikan untuk bayi laki-laki malang itu. Ia diangkat menjadi satu-satunya anak angkat keluarga Prof. Sudewa. Ida Pedanda Gunung  membantu proses upacara pengangkatan Rama yang kini  sudah duduk di bangku SMA ini. Sejak saat itu, Ida Pedanda Gunung sangat dekat dengan keluarga Prof. Sudewa. Salah satu anak Prof. Sudewa, A.A. Dewandra kini membantu Ida Pedanda Gunung untuk  program IT dharma wacana. Kemana pun Ida Pedanda pergi untuk dharma wacana, A.A. Dewandra pasti mendampinginya. Prof. Sudewa tak menampik untuk memberi makan dan menyekolahkan anak asuh memerlukan banyak uang. Namun, ia heran, ada saja bantuan tak terduga yang datang. Tiba-tiba saja ada beras datang atau pakaian diberikan seseorang tak dikenal. ”Semoga selalu ada rezeki Tuhan,” kata Prof. Sudewa. –ast Koran Tokoh Edisi 698

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun