Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mensahabati Realitas Hidup?

15 September 2015   08:11 Diperbarui: 15 September 2015   08:26 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Sebagian besar kita menganggap sahabat itu segalanya. Kita mengira seorang sahabat itu bisa bersama kita selamanya, karena di dalam persahabatan ada cinta. Namun, kata ‘cinta’ memiliki lawan kata, dan seringnya kita tidak menyadari bahwa di balik cinta ada benci, ada dusta, dan ada pengkhianatan. Kata ‘cinta’ tidak berdiri sendiri, ia butuh lawannya agar ia bisa di sebut sebagai ‘cinta.’ Begitu pula, kata sahabat juga memiliki pengandaian yang bukan sahabat, atau biasa kita sebut ‘musuh.’ Tidak ada yang di sebut sahabat, kalo tidak ada musuh. Oleh karena itu, jangan kita lantas menganggap seorang sahabat itu akan baik-baik selamanya? Ia juga bisa berlaku jahat kepada kita. Dan, janganlah kita menganggap musuh kita akan selamanya jahat, suatu saat nanti bisa jadi ia menjadi sahabat kita.

Meskipun kita menemukan seorang sahabat itu begitu sulitnya, yakni melalui berbagai perjalanan hidup yang pahit maupun yang manis. Namun, sesulit apapun kita temukan sahabat itu, dan selama apapun ia bersama kita, tetap saja, jangan mudah percaya! Semua harus rasional, karena selain diri kita sendiri, tidak ada yang perlu dipercayai secara serius. Sudah banyak pengalaman hidup kita membuktikan, bahwa begitu tidak berartinya seorang sahabat, ketika ia mengkhianati dan menyakiti kita!

Aristoteles, seorang filosof zaman sebelum masehi saja, sudah pernah bilang bahwa ketika seseorang mensahabati kita, tidak mungkin ia tidak bermotif apapun. Seseorang mensahabati kita karena tiga alasan, Pertama alasan kenikmatan (pleasure), kedua alasan kegunaan (utility), dan ketiga alasan keutamaan (virtue).

Ketiga alasan tersebut, menjadi motif setiap orang dalam mensahabati kita, atau mungkin saja kita sendiri yang memiliki salah satu dari ketiga motif di atas, pada saat kita mensahabati orang lain. Sejatinya, apapun motifnya, semua itu rapuh, sementara dan menipu. Oleh karena itu, omong kosong kalo seorang sahabat itu akan setia sampe mati. Seorang kekasih, Istri ataupun Suami saja, banyak yang nggak setia, apalagi seorang sahabat!

Misalkan saja, kita bersahabat dengan seseorang, karena ia memberikan kita kenikmatan (pleasure), seperti bisa diajak diskusi, pintar, suka berbagi ilmu, suka mentraktir kita, suka berpetualang bersama, atau suka membelikan kita barang-barang mewah. Maka, apa yang dia dilakukan kepada kita, maupun sebaliknya, ini hanya sementara, rapuh dan sangat menipu.  


Alasan lainnya, kita bersahabat dengan sesorang karena ia begitu bermanfaat untuk kita. Mungkin, pada saat menjelang ujian, dia mau membagikan ilmu dengan berdiskusi dengan kita. Apalagi, dia memiliki banyak koneksi untuk bekerja nantinya, serta motif-motif ‘berguna’ lainnya. Maka, persahabatan model begini juga hanya sementara, rapuh dan  menipu. Kemudian, alasan berikutnya, adalah kita bersahabat dengan seseorang karena dia adalah orang yang memiliki banyak keutamaan, seperti rendah hati, murah hati, sabar, penyayang, dan sebagainya. Ketika seorang sahabat mulai tinggi hati, tidak sabaran dan kurang perhatian, maka hancurlah persahabatan itu.

Dari titik inilah, mengapa kita tak mensahabati realitas hidup kita sendiri? Kalo ditanya, mengapa realitas dijadikan sahabat? Padahal yang namanya sahabat kan, orang lain atau sejenis manusia gitu? Di dunia ini, kita sah-sah saja memilih sahabat bukan manusia. Anak-anak sekarang lebih suka mensahabati handphone-nya daripada yang lainnya. Dosen dan Mahasiwa lebih mensahabati bukunya dari pada lainnya. Bahkan, jika pemerintah USA mengizinkan, ada lho seseorang yang pengen nikah sama laptopnya! Di Jepang ada orang yang ingin nikah sama bonekanya! Dan di Eropa ada yang ingin menikah dengan binatang kesayangannya ?! He .. he .. he ... mungkin zaman sudah ‘edan,’ atau justru orangnya yang sudah pada ‘edan’ ya ?!.

Dari kondisi dan pemikiran diatas, kita bisa sedikit menyimpulkan, bahwa sahabat adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi perhatian dan fokus kita setiap waktu, tempat kita berbagi rasa, dan lain-lain. Hukum pikiran menyatakan, bahwa kita akan memperoleh lebih dari apa yang kita fokuskan atau kita pikirkan. Lalu, apa yang dimaksud dengan realitas hidup itu?

Secara filosofis, yang dimaksud dengan realitas adalah kenyataan sebagaimana adanya, tanpa bumbu kelekatan yang dibuat oleh pikiran dan perasaan manusia? Kenyataan apa adanya berarti kenyataan sebelum kita memikirkannya dalam konsep dan bahasa. Di dalam kenyataan ini, yang ada hanya satu hal, yakni kekosongan yang besar.

Kekosongan yang besar ini adalah keadaan asali dari seluruh alam semesta. Ia juga menjadi bagian tersebar dari seluruh alam semesta. Segalanya lahir dari kekosongan besar, dan kemudian berakhir pada kekosongan semacam itu pula. Pemahaman semacam ini merupakan buah dari penelitian astrofisika dan fisika modern yang menemukan, bahwa unsur terkecil materi adalah kekosongan ?!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun