Mohon tunggu...
Windu Merdekawati
Windu Merdekawati Mohon Tunggu... Penulis - Petualang hidup

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejenak Merenungkan Kembali Esensi Pendidikan

10 September 2017   23:00 Diperbarui: 12 September 2017   10:38 2913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ki Hadjar Dewantara mengajarkan sistem pendidikan kesenian yang bersifat synaesthetic, dengan apa keseluruhan indera peserta didik dirangsang secara simultan, dengan cara mengetahui (niteni), merasakan (ngrasakne) dan mempraktikkan/melakukan dengan penuh penghayatan (nglakoni) (I Nyoman Gunarsa dalam Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa ISI Yogyakarta).

Ki Hadjar sendiri adalah salah seorang pelopor komponis Indonesia, yang  berperan dalam perkembangan awal seni musik di Indonesia pada abad  ke-20. Pada tahun 1916, Ki Hadjar mengaransemen musik untuk piano dan nyanyian soprano berjudul "Kinanthie Sandoong" menggunakan skala gamelan  pentatonis. Kinanthie Sandoong adalah bahasa Belanda yang aslinya (dalam bahasa Jawa) adalah Kinanti Sandung karya KGPAA Mangkunagara IV.  

Kinanti Sandung dimainkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai bentuk  kerinduan beliau pada tanah air ketika diasingkan di negeri Belanda selama enam tahun (6 September 1913 -- 6 September 1919). Pada tahun 1930 Ki Hadjar menerbitkan buku berjudul "Serat Sari Swara" yang berisi metode dan tangga nada Sari Swara. Karya beliau dalam bidang seni ini bahkan mendapatkan pengakuan internasional berupa royalti dari Jerman.  

Pendapatan dari royalti inilah yang konon digunakan untuk membeli rumah beliau dari seorang wanita janda berkebangsaan Jerman, yang kini rumah itu menjadi MDKG. Perjuangan Ki Hadjar penuh dengan kesederhanaan. Sekelumit cerita menarik dari Mbak Bunga, guide yang menemani saya berkeliling MDKG, tentang jam tangan Ki Hadjar yang dipajang di  museum ini, karena kesulitan ekonomi sampai-sampai untuk membayar pajak beliau tidak punya uang sehingga bermaksud menjual jam tangan itu kepada Ki Nayono, salah satu pamong di Tamansiswa, tetapi oleh Ki Nayono malah dibantu sehingga jam tangan beliau tidak jadi terjual. 

dokpri
dokpri
Sekolah Tamansiswa berada di garis depan dalam perjuangan kemerdekaan RI. Pada tahun 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan “Undang-Undang Sekolah Liar” yang bertujuan mengatur keberadaan sekolah-sekolah di luar sistem kolonial. Tamansiswa adalah salah satu sekolah yang bertentangan dengan UU tersebut, sehingga sekolah ini melakukan “perlawanan pasif” untuk menolak pengambilalihan sekolah oleh pihak kolonial Belanda. Kampanye tersebut berhasil sehingga penguasa kolonial membatalkan UU Sekolah Liar tersebut pada bulan Februari 1933. 

Sekolah-sekolah Tamansiswa mulai tersebar di seluruh penjuru Hindia-Belanda (sebutan untuk Indonesia sebelum merdeka). Pada tahun 1932, sekolah Tamansiswa telah mempunyai 166 cabang dengan jumlah total 11.000 siswa. Sekitar tahun 1930-an dan 1950-an Presiden Soekarno sering bertemu Ki Hadjar untuk membahas masalah nasional dan internasional dan juga untuk bercakap-cakap sebagai sahabat. Soekarno juga menjabat sebagai seorang guru di Sekolah Tamansiswa di Bandung. 

Selain Soekarno ada beberapa seniman seperti Affandi, Trubus, Alibasjah, Sudjojono, Basuki Resobowo, Sindusisworo, Tino Siddin, Bagong Kusudiarjo, dan masih banyak lagi para ahli yang waktu itu sebagai pamong (guru) di Tamansiswa. Hingga setelah kemerdekaan RI, Ki Hadjar diangkat sebagai Menteri Pendidikan yang saat itu dikenal dengan “Menteri Pengadjaran, Pendidikan dan Keboedajaan” tertanggal 19 Agustus 1945.

dokpri
dokpri
Tamansiswa juga berperan dalam perjuangan hak perempuan. Pembentukan Sekolah Tamansiswa pada tahun 1922 menandai tonggak perjuangan hak-hak perempuan. Kaum wanita boleh mengambil peran sebagai pamong di sekolah ini. Wanita Tamansiswa juga berperan dalam perjuangan nasional untuk hak-hak perempuan, salah satunya yaitu pada penyelenggaraan Kongres Perempuan yang pertama di Indonesia, yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1928.

Penjelasan mengenai Pendidikan berlandaskan Pancasila, saya dapat jawabannya dari hasil diskusi “Mben Seloso” oleh Narasumber Ki Sutikno. Beliau memaparkan sebuah pemikiran (kata-kata) Ki Hadjar yang masih relevan sampai saat ini. “Syarat membangun suatu bangsa adalah mempertinggi derajat budayanya. Pembentukan pribadi anak akan lengkap jika antara sisi intelektualitas dan emosinya dapat seimbang. Penyambung keduanya adalah PENDIDIKAN. 

Indonesia adalah negara multikulturalisme, terdapat banyak suku bangsa dan bahasa. Wadah pembentukan pribadi bangsa agar menghormati dan menghargai perbedaan adalah melalui pendidikan. Sistem pendidikan Pancasila sangat cocok diterapkan di negara Indonesia yang berlandaskan ideologi, Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Syarat pendidikan Pancasila diantaranya adalah organisasi bersendi hidup kekeluargaan, beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, silih asuh (saling menghormati dan menghargai perbedaan), silih asah (tolong menolong dan gotong-royong), serta demokrasi (selalu bermusyawarah).

Pendidikan Pancasila dapat tercipta dan berjalan secara kondusif diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan dalam pelaksanaannya. Konsep tersebut sesuai dengan konsep Tri-Na Ki Hadjar Dewantara (Ngerti-Ngroso-Nglakoni). Manusia yang mempunyai ilmu apabila tidak diamalkan sama halnya kosong/tidak mempunyai makna (Ilmu tanpo laku=kothong; Laku tanpo ilmu=cupet)”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun