Mohon tunggu...
Winda Pratama Putri
Winda Pratama Putri Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu Komunikasi

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hollywood Semakin Menguasai Pasar Dunia, Lantas Bagaimana Dampaknya terhadap Dunia Perfilman di Indonesia?

8 November 2020   20:08 Diperbarui: 8 November 2020   20:24 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jika fenomena kapitalisme global dikaitkan dengan industri film, maka akan membawa persoalan klasik: yang kuat versus yang lemah. Hollywood menjadi pemenang kuat karena merupakan pusat industri film dunia. Tercatat bahwa Hollywood mencakup lebih dari 100 negara ekspor. Robert J. Lieber dan Truth E. Weisber menjelaskan bahwa bangsa film Amerika di Eropa, misalnya Jerman dan Italia mencapai 70 - 80%, sedangkan UNESCO menyatakan bahwa film Amerika mendominasi sebagian besar studio film besar di dunia. Hal ini dianggap sebagai kolonialisme baru di era globalisasi, mengingat film-film Hollywood tidak hanya menghibur penontonnya saja, tetapi juga merepresentasikan soft power atau disebut juga imperialisme budaya oleh Amerika.

Dalam perkembangan teori-teori saat ini, film tidak lagi diapresiasi sebagai seni, tetapi lebih sebagai praktik sosial, serta peran komunikasi massa (Jowett dan Linton, 1980 dalam West dan Turner 2007). Berangkat dari asumsi bahwa film memainkan peran praktik sosial dan komunikasi massa, perspektif ini menegaskan bahwa ada interaksi yang kuat antara film dan I deologi budaya dimana film diproduksi dan dikonsumsi.

Hagemoni Hollywood di Indonesia telah berlangsung sejak lama semenjak pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga saat ini, rekor perfilman nasional menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup signifikan antara produk nasional dan luar negeri. Pada tahun 2010, ada 180 film impor, sedangkan produk nasional hanya 81 film (Wisnubrata, 2011). Selain proses distribusi film Hollywood, industri film Indonesia juga mengemban isu pameran atau biasa dikenal dengan Movie Theater. Bahkan kepemilikan bioskop utama di Indonesia diatur oleh Grup 21 yang menciptakan lebih banyak hagemoni film Hollywood di Indonesia. Tentunya hal-hal tersebut memerlukan kebijakan perlindungan. Oleh karena itu, pada tahun 2010, telah ditetapkan kebijakan protektif berupa penetapan pajak untuk film impor yang diatur dalam surat edaran No. 3 tahun 2010 oleh Direktorat Jenderal Bea dan Pajak. Kebijakan tersebut cukup menarik, karena sangat berkaitan dengan situasi Indonesia saat ini di mana kecenderunngan kapitalisasi global liberal sangat terlihat.

Mengapa penonton Indonesia cenderung lebih suka menonton film Amerika? Pertanyaan ini mengeksplorasi alasan mengapa penonton Indonesia lebih memilih untuk menonton film Amerika. Kebanyakan masyarakat diasuh oleh stigma bahwa orang Indonesia akan lebih kekinian ketika up to date dalam dunia perfilman Hollywood apalagi ketika menontonnya, tak jarang banyak yang menulis rating atau review dalam media sosial mereka ataupun berupa blog tentang film Hollywood yang baru rilis ditayangkan. Misalnya seperti film yang sangat hype di tahun 2019 kemarin seperti film Avengers, padahal belum tentu mereka mengetahui siapa itu Doctor Stranger yang merupakan salah satu hero baru. Kemudian ada pula film serial terbaru yaitu Fantastic Beasts, kebanyakan dari kaum muda Indonesia hanya ikut-ikutan ingin mengerti dan merasa up to date. Namun bingung dengan karakter Harry Potter apa saja yang disajikan pula dalam film tersebut, karena Serial Harry Potter dan Fantastic Beasts dikarang oleh satu penulis yang sama yaitu J.K Rowling.

Tetapi tak dapat dipungkiri juga bahwa kualitas perfilman Indonesia masih tidak bisa menyaingi dunia perfilman Hollywood. Jika digabungkan dengan uses and gratifications theory, dari berbagai opini masyarakat Indonesia khususnya kaum muda Indonesia yang saya dapatkan dari media seperti Quora Indonesia. Banyak yang mengaku mereka lebih mendapatkan gratifikasi dari menonton film Amerika. Masyarakat cenderung menganggap bahwa film-film Amerika sangat mampu memenuhi kebutuhan hiburan mereka karena teknologi yang digunakan dalam film-film Amerika lebih maju daripada banyak film-film Indonesia.

Ada juga kepuasan lain yang dicari penonton Indonesia dari film-film Amerika. Bagi sebagian besar kaum muda, rasa ingin tahu mereka terhadap budaya Barat mendorong mereka untuk menonton film Amerika. Ada dua jenis informasi yang dicari penonton Indonesia dari film-film Amerika: untuk memahami budaya Amerika dan untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan mendengarkan bahasa Inggris. Kepuasan lain yang mereka cari termasuk "untuk bersantai", "melakukan interaksi sosial" dengan nongkrong menonton film bersama teman dan anggota keluarga, dan bahwa film Amerika memuaskan keinginan mereka untuk mengalami "sesuatu yang baru".

Bagi industri film lokal yang ingin bersaing secara komersial dengan Hollywood, pelajaran utama dari kasus ini adalah bahwa Hollywood telah begitu lama mendominasi perfilman Indonesia karena film-filmnya yang berkonsep tinggi, kontrol distribusi sinema global, pemasaran dan promosi yang kuat, dan penerapan yang efektif dari sinema Malaysia. Teknologi baru yang memungkinkan mereka secara konsisten mengungguli semua kompetitor. Implikasinya, agar industri film lokal Indonesia bisa bersaing dengan Hollywood, harus ada anggaran yang tinggi untuk memproduksi sebuah film. Pemerintah perlu memberikan dana dan pinjaman kepada pembuat film. Karena keterbatasan anggaran, sebagian besar anggaran telah masuk ke tahap produksi, sedangkan tahap pemasaran diabaikan. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mulai mendorong kemampuan pemasaran strategis industri lokal dengan memberikan insentif pajak atau lainnya. kebijakan keuangan yang akan memudahkan pembuat film. Pembuat film dapat menginvestasikan dana ini untuk memasarkan film mereka.

Generasi muda sangat puas dengan pemenuhan kebutuhan hiburan, mengalami inovasi teknologi yang lebih maju, efek khusus, gambar dan akting yang lebih baik, alur cerita yang lebih menarik, dan menonton aktor dan aktris terkenal. Di sisi lain, kepuasan yang diraih untuk film-film lokal masih rendah. Perbandingan antara gratifikasi penggunaan film Hollywood dengan gratifikasi penggunaan film lokal menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana gratifikasi penggunaan film Hollywood berada di ujung yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Kurnia, Novia. (2005). Industri Perfilman Indonesia: Analisis Ekonomi Politik Terhadap Industri Perfilman Indonesia dalam Perspektif World System Theory. FISIP University of Indonesia.

Manggiasih, Bunga, dkk. (2011, February 22). Royalti Film Impor Sesuai WTO. Retrieved from http://www.tempo.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun