Bohong kalau saya tidak khawatir, saya juga memiliki keluarga yang harus saya lindungi dan hidupi.Tetapi dalam kondisi seperti ini saya harus tetap waras dan berpikir jernih.
Bersyukur saya masih ada dana darurat dan tabungan. Masih bisa untuk menyambung hidup. Tapi tidak ada yang tahu, kapan situasi ini akan berakhir. Selagi masih ada wabah corona, risiko tetap ada.
Saya bekerja sebagai karyawan swasta di Perusahaan Otomotif, suami sebagai sopir angkutan luar kota di perusahaan yang mengandalkan upah harian atau yang hanya hidup kalau ada orderan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, seharusnya bulan Ramadhan adalah masa panen kami. Keuntungan yang berlipat biasa kami dapatkan di bulan ini.
Dalam kondisi normal, kami akan terus menerus bekerja lembur untuk mendapatkan upah ekstra. Tapi itu hanya terjadi sebelum ada virus corona.
Beruntung pimpinan saya masih mempertahankan karyawan-karyawannya walaupun penghasilan perusahaan turun 80%.
Sebagai gantinya saya bekerja secara bagi shift dengan metode 3 hari masuk 3 hari libur. Sehingga gaji yang diterima pun tidak penuh.
Suami sudah tidak bisa kemana-mana karena adanya larangan untuk mudik, sehingga angkutan ke luar kota benar-benar lumpuh.
Galau? Sudah pasti!
Pemasukan minim tetapi pengeluaran jalan terus.
Dalam situasi seperti ini saya dan suami harus bekerja sama, menjadi tim solid, dan berpikir bagaimana cara agar dapur tetap ngebul.