Kopi Kopi Indonesia
[caption id="attachment_214050" align="alignleft" width="300" caption="Dari Kiri Kekanan Drs.Sedyatmo MT, asdep, Edy Suharyanto dan Sri Mulato"][/caption]
Menginjakkan kaki tanah di Jawa kembali . Meski lama bermukim di Jawa bagian barat, dan sering menjambangi Jawa Tengah, namun kawasan Timur Jawa masih selum sempat kudatangi.
Tawaran kali ini mengunjungi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Kementerian Riset dan Tehnologi, Deputi Bidang Pendayagunaan Iptek, yang ditandatangani, Drs. Sedyatmo ,MT, melalui program Diseminasi Spesifik Lokasi (Speklok) dan Tehnologi, meminta dua orang utusan dari Takengen, mengikuti kunjungan dan pelatihan. Tentang kopi.
Tentu saja kesempatan ini harus diraih. Bersama seorang petani lainnya dari Takengen, Kurnia, aku berangkat menuju Jember.Surat Ristek itu tersebut ditujukan kepada Bupati Aceh Tengah.
Kemudian diteruskan kepada Dinas Perkebunan. Tapi Dinas Perdagangan kemudian merealisirnya dan mengirimkan dua perwakilan untuk ikut serta dalam kunjungan dan pelatihan pengolahan dan budidaya kopi tersebut.
Kenapa Menristekmengurusi kopi gayo ? ceritanya begini, Menristek, Prof Dr. Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS mengaku sudah lama sekali mengenal nama Gayo, bahkan istilah Gayo sudah sangat terkenal. Seperti kopi arabika Gayo sudah dikenal orang diseluruh dunia. Oleh karena itu, sebaiknya nama Gayo dijadikan ikon untuk berbagai produk dari daerah itu. Misalnya, kalau produk kentang disebut saja dengan “Kentang Gayo,” atau “Labu Gayo,” pokoknya semua produk dicantumkan nama Gayo dibelakangnya.
Dikatakan Menristek dalam pertemuannya dengan tokoh masyarakat di Pendopo Aceh Tengah, Sabtu (22/9) malam. Dia menambahkan, kalau kopi arabika Gayo disentuh dengan Iptek dipastikan nilai jualnya akan lebih mahal. Sayang sekali jika produk hebat seperti kopi arabika Gayo tidak diolah didaerah sendiri. Hal itu sama dengan membuka kesempatan kerja di negeri orang.
Menteri yang asli putra Banjar Kalimantan Selatan itu berkisah saat berkunjung ke Thailand. Di negeri Gajah Putih itu, dia bertemu dengan orang yang sedang mengasah batu akik. Produknya cukup indah dan menarik karena mendapat sentuhan iptek. Ketika ditanya dimana mereka belajar mengasah batu akik, mereka menjawab di Martapura Kalsel. Sayangnya, pengasah batu akik di Martapura tanpa latihan khusus dan sentuhan iptek, sehingga hasilnya belum maksimal.
Menristek mengakui bahwa di Aceh Tengah sudah cukup banyak yang mampu mengolah kopi sampai tahap roasted dan menyajikan melalui mesin espresso. Mereka itu adalah aset berharga bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kalau perlu, mereka diajak untuk melihat pusat-pusat pengolahan dan latihan kopi di Jember atau daerah lainnya.(Sumber : www.lintasgayo.com)
Nah, Menristek ternyata tidak hanya berucap. Tapi juga merealisasikan omongannya dengan meminta peserta pelatihan ke Jember dari Takengen. Untuk melihat berbagai tehnologi yang dikembangkan para peneliti di Jember.
[caption id="attachment_214053" align="alignright" width="300" caption="Enam bulan tidak hujan sejak Mai-Oktober adalah musim kemarau di Jawa. Akibatnya tanah disputaran Dusun Pedati Menjadi debu"]

Rabu , 17 Oktober 2012, tepat di hari ulang tahunku yang kesekian.Dengan “Basmallah” kumulai mengayunkan gerak langkah kaki dari tanoh Gayo tecinta. Gerimis tiba saat pergi dengan bus Kurnia yang berbadan panjang.
Hujan dan panas kerap berganti sejak beberapa pekan belakangan. Inikah yang disebut perubahan global iklim dunia yang tak lagi bisa diprediksi, pikirku. Tapi siapa yang mau menjawabnya. Karena aku hanya bertanya dalam hati. Tapi indikasi perubahan iklim yang ekstrem ini seperti membenarkan dugaanku.
Langkah pertama ke Jember, harus menuju Medan dahulu. Rute darat sepanjang hampir hampir 500 kilometer dari Takengen. Sebagai daerah Dataran Tinggi satu-satunya dan berada di tengah Aceh, rute sepanjang Takengen-Bireuen berkelok.
Tapi supir armada bus Kurnia, mampu mengendalikan bus ber-acnya . Dari Pegunungan Gayo yang berketinggian 1200 dpl, perjalanan berkelok dengan kanan kiri lembah terjal, bukit dan gunung, menantang adrenalin sang juru mudi Kurnia.
Setiap supir menuju Datiga (Dataran Tinggi Gayo) harus memiliki kecakapan berlebih dan mernggunakan segala keahlian terbaiknya mengarungi rute darat berbahaya ini.
Setelah melintasi jarak tempuh 100 kilometer, Takengen-Bireun, barulah jalanan pesisir Aceh mulai rata dengan sedikit kelokan saja. Perjalanan malam itu dilewati 40 penumpan bus Kurnia dengan tidur, 10 jam lebih.
Kenderaan yang kami tumpangi juga telah meninggalkan beberapa kabupaten kota yang ada disebagian Provinsi Aceh seperti Bireuen, Lhokseumawe, Idi Rayeuk dan Langsa, sebagai kota terakhir yang merupakan daerah perbatasan dengan Provinsi Sumut.
Setelah semalaman suntuk menghabiskan waktu diperjalanan darat tersebut, “Alhamdullilah” keesokan harinya atau tepatnya 18 Oktober tiba di Kota Medan, dari sanalah kemudian kugerakan nalarku, mengajak tubuh lelahku menuju Bandara Polonia.
Asyiknya, tiket pesawat telah diboking. Sistem pemesanan tiket online yang kini marak dan memudahkan siapapun untuk pergi dan pulang menggunakan armada kuda besi. Hanya menunjukkan kode pesanan yang ada di hp, petugas bandara maskapai seperti Lion Air, melakukan konfirmasi dan mengganti kode pesanan tersebut dengan wujud selarik kertas yang diprinter.
Maskapai ini tampak mendominasi ticketing hingga armada pesawat hampir disemua bandara. Bisnis angkutan udara. Singkatnya dari bandara itu-lah pesawat yang kutumpangi mulai mengudara. Burung besi ini mengangkut ratusan orang sekali trip.Sekali trip ratusan penumpak domestik. Selebihnya hanya pemandangan angkasa yang sepi. Tak jua bertemu Gatot Kaca.
Kota Medan tampak mengecil dengan tumpukan perkebunan sawit yang tersebar. Burung besi menyapa awan, meninggi dan membawahi awan dan berjalan datar. Transit di Hang Nadim Batam, armada udara ini menaikkan penumpang menuju Surabaya. Kursi-kursi sempit pesawat yang berbaris enam dengan bagian tengah pesawat untuk jalan, penuh kembali. Dan Take off menuju Bandara Juanda.
Kepakan sayapnya kembali merentang di udara. Menari bak burung Garuda menguasai dirgantara yang sepi. Tak ada simpangan, apalagi bertemu pesawat lain, pun pluit polisi yang nyaring, benar-benar sendiri. Arogansi armada udara yang masih sedikit diakses penduduk Indonesia karena mahal.
Benar saja, setelah 3 jam berlalu dengan mengarungi gumpalan awan, akhirnya sampai juga di Jawa Timur. Tak ada bagasi, kecuali ransel, perjalanan berlanjut.
Menuju Jember dari Surabaya, ternyata sama melelahkannya dari Takengen –Medan. Karena berjarak 230 kilometer. Keluar Bandara, jemputan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) sudah menunggu. Kala itu Surabaya dipenuhi lampu.
Tampak sekali profesionalitas lembaga penelitian ini. Melalui seorang staf Pusat Penelitian Jember , Ike , peserta yang ikut sejak awal sudah dikonfirmasi. Berangkat jam berapa dan perkiraan tiba di Surabaya. Pak Slamet, driver Balai penelitian dari Jember sudah menunggu.
Sempat terjadi kesalahpahaman dengan Pak Slamet karena mengira kami dari Ristek. Saya terpaksa menjelaskan panjang lebar dan mengatakan bahwa kami dari Takengen dan hanya petani biasa yang datang atas undangan kantor Ristek. Pak Slamet yang memiliki tiga anak ini kemudian paham. Saya merasa seperti pejabat yang dijemput dengan tabik...hahaha, syukur.
Malam yang panjang. Keluar dari Surabaya harus melewati tol yang banyak. Melewati tol, pemandangan jalan lurus menuju ke Ujung Jawa Timur, Banyuwangi hingga Bali ini dipenuhi truk.
Sepanjang Surabaya-Jember , hanya berpapasan dengan truk gandeng bermuatan banyak. Armada truk gandeng yang menurut Pak Slamet sengaja dilakukan malam hari agar lebih lancar karena kalau disiang hari jalanan ini dipenuhi sesak kenderaan dan berkecapatan tinggi. Tiba di Pusat penelitian Jember menjelang tengah malam.
Pusat penelitian ini tampak hijau dengan hutan buatan berbagai jenis kayu yang menjulang dan tertata rapi.Menciptakan iklim mikro yang idela untuk ditanami kopi dan kakao sebagai bagian penelitian. Tanggal 18 Oktober berlalu sehari penuh menunggangi armada besi dan angkutan darat yang melelahkan.
***
Acara dimulai. Asisten Deputi Iptek Masyarakat (Asdep) Drs.Momon Sadiyatmo,MT, memperkenalkan peserta yang hadir pada pihak Balai Penelitian Kopi dan Kakao. Selain dari Takengon, peserta lainnya dari Gunung Kidul dan Wonogiri, dua lokasi pengembangan Kakao.
Momon , sebutan untuk asdep , berharap peserta yang hadir mampu menjadi agen bagi petani lainnya dari hasil pelatihan yang diberikan. Pihak Balai penelitian Jember, diwakili Sri Mulato, alumnus Universitas Hohenheim, Stuttgart, Jerman bersama Edy Suharyanto, jebolan strata dua Agrotehnologi Unej Jember.
Kedua pakar ini menceritakan tentang mekanisasi modern dan perlunya biotehnologi pertanian. Semuanya ini untuk menunjang hasil pertanian yang maksimal dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan ekosistim pertanian.
Para peneliti ini menunjuk semua hasil atau produk penelitian mereka yang menunjang pertanian. Sri Mulato dan Edy Suharyanto, sebelumnya sudah merilis sebuah buku berjudul , “Kopi Seduhan, dan Kesehatan”, yang diterbitkan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, cetakan pertama Edisi Juli 2012.
[caption id="attachment_214067" align="alignright" width="300" caption="Buku terbaru soal kopi, oleh Balai Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, "]

Asdep , Momon, ikut bersama peserta pelatihan melihat berbagai fasilitas dan penelitian yang dilakukan PPKKI, selama kunjungan dan pelatihan dan ikut pula menginap di Guest House Jember.
Edy memperkenalkan semua fasilitas milik pusat penelitian kopi dan kakao lengkap dengan peta dan produk yang kini banyak dipesan dari antero nusantara. Yang menarik, pusat penelitian juga memanfaatkan sampah kopi yang dijadikan makanan ternak.
Bahkan kotoran hewan ini dijadikan biogas bagi perorangan dan kelompok. Tidak ada yang tersisa untuk dimanfaatkan. Tehnologinya sangat sederhana dan bisa dilakukan siapa saja. Tidak berhenti sampai disana, PPKKI juga mengolah kopi dan coklat berupa minuman dan makanan serta sabun dan produk lainnya.
***
HARI kedua di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, tanggal 20 Oktober 2012, Asisten Deputi Iptek Masyarakat, Sedyatmo mengajak saya untuk mengunjungi PTP.Nusantara XII (Persero), kebun Kalisat/Jampit. Melihat bekas perkebunan Belanda yang dikenal dengan ‘Java Coffee’ yang kini dikelola PTP.