Mohon tunggu...
Winarto -
Winarto - Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

noord oost zuid west, thuis best.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Ramadhan Hampir Berlalu

15 Agustus 2012   20:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:42 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="448" caption="Buka Puasa Bersama Orang Belanda"][/caption]

Sebuah email masuk ketika saya tengah berada di ruang komputer Groningen University. Email itu terkirim tepat 10 hari menjelang bulan puasa 1433 H yang berisi kegiatan perhimpunan mahasiswa Indonesia di Groningen selama bulan suci Ramadhan. Setelah membacanya, sejenak saya memandangi layar komputer sambil merenung. Tak terasa, sudah 16 bulan saya berada di Negeri Belanda, tepatnya di Kota Groningen. Ini Ramadhan kedua di Negeri Belanda. Detik demi detik berlalu. Waktu melesat laksana sebuah anak panah yang terlepas dari busurnya. Perenungan saya terhenti ketika jam besar yang ada di Academiegebouw Groningen University berdentang, menandakan waktu tepat pukul 5 sore.

Sebagaimana dipublikasikan di website KBRI Den Haag, menurut hasil rapat/musyawarah Alim Ulama dan  Tokoh-tokoh umat Islam di Den Haag pada hari Selasa, 3 Juli 2012,  diambil keputusan bahwa awal puasa 1 Ramadhan 1433 H berdasarkan hisab jatuh pada Jum'at, tanggal 20 Juli 2012. Di website yang sama, diumumkan juga bahwa 1 Syawal 1433 H jatuh pada hari Ahad, 19 Agustus 2012.  Jadi, hari raya kemenangan, Idul Fitri, akan tiba dalam hitungan hari lagi. Bulan puasa tahun ini pun akan segera berlalu.

Setiap bulan puasa, berkah dan pengalaman yang didapat setiap tahun masing-masing orang berbeda, tetapi nilainya begitu luar biasa. Masing-masing orang akan memiliki pengalaman-pengalaman kehidupan yang tidak saja semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, tetapi juga pengalaman yang makin menyadarkan untuk selalu menyebarkan cinta kasih dan welas asih kepada keluarga, teman-teman, masyarakat dan lingkungan sekitar. Di bulan puasa tahun ini, saya mendapat pengalaman yang sangat berharga.

Memasuki bulan Juli 2012, saya perlu segera menyelesaikan tugas akhir karena waktu studi dan kontrak beasiswa Ford Foundation yang akan segera habis. Sebagaimana mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir yang harus bergumul dengan tugas akhir, ujian kesabaran menjadi isu tersendiri. Saya perlu sabar menghadapi supervisor yang "gampang-gampang susah", sabar melihat teman-teman yang sudah bertebaran di beberapa negara/kota untuk zomer vacantie dan mengunggah foto-foto di Facebook serta beberapa ujian kesabaran lainnya. Isu lain yang juga saya hadapi adalah bahwa setelah saya menyelesaikan program master di bulan Agustus, kemudian saya juga akan mengikuti program master lain melalui beasiswa yang diberikan oleh Kampus Groningen University. Jadi, saya meski mengurus segala urusan administrasi seperti mencari rumah, asuransi dan residence permit. Jadi dalam pikiran saya, sepertinya tugas-tugas dan aktivitas sehari-hari yang saya kerjakan terasa banyak dan (mungkin) berat.

Tapi saya percaya bahwa ujian-ujian tersebut akan bisa saya lalui. Saya hanya perlu mengurai setiap beban-beban dan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Tidak lupa, supervisor saya memberi nasihat supaya jangan sampai lupa refreshing, melupakan sejenak tugas-tugas dengan kegiatan yang membuat senang, bertemu dengan orang-orang dan berinteraksi dengan alam. Dari kegiatan itu, pasti ada sesuatu yang diperoleh. Saya pun mengamini itu.

Ada beberapa pengalaman yang menarik dalam proses mengurai dan menyelesaikan tugas-tugas itu. Kejadiannya ketika mengurus pindah rumah. Atas informasi dari seorang kolega, Amirul Mukminin, saya biasa memanggilnya Kak Amir, saya akan pindah dari housing saya ke rumah seorang Belanda bernama E. Scholten, sebutannya Cho. Kak Amir sudah tinggal di rumah Cho sejak awal July namun akan pulang ke Indonesia selama bulan Agustus, sementara saya akan pindah ke sana pada tanggal 31 July. Menariknya, Cho hanya berbahasa Belanda, sementara saya tidak begitu menguasai bahasa Belanda.

Secara ekonomi, Cho hanya warga biasa yang mendapatkan tunjangan dari pemerintah Belanda. Dia tinggal sendirian di sebuah flat. Jadi kedatangan Kak Amir dan adiknya yang kebetulan sedang berlibur ke Belanda bisa memberi hiburan dan menemani kesehariannya. Saya yakin selama ini Cho yang sudah berumur 68 tahun tentu sangat kesepian karena ditinggal istri dan anak-anaknya. Aktivitas sehari-harinya pun sangat terbilang sangat monoton. Bangun sekitar jam 9 pagi, bekerja sukarela dari jam 10 hingga jam 5 dan setelah pulang hanya di rumah untuk menonton TV hingga jam 12.00 malam, kemudian tidur. Jika sedang libur, aktivitasnya pun hanya di rumah. Tidak pernah ke bar/café sebagaimana masyarakat Belanda pada umumnya.

Melihat makanan yang dimakan Cho, bagi saya pribadi, saya sangat prihatin. Kalau pagi dia tidak pernah sarapan. Kalau siang, biasanya dia makan dua buah roti demikian juga kalau malam. Semenjak Kak Amir pindah ke rumah Cho, pola makan Cho berubah. Mengingat masyarakat Indonesia terbiasa dengan makan besar dan makan yang berat, maka setiap kali makan, Cho diajak makan bersama. Ketika memasuki bulan puasa, Cho dengan sabar menunggu waktu berbuka puasa hingga pukul 21.30. Saya yang masih tinggal di housing yang lama, beberapa kali diajak berbuka puasa dan makan bersama dengan Cho.

Ketika Kak Amir ke Indonesia dan saya pindah ke rumah Cho terhitung tanggal 31 Juli 2012, saya meneruskan tradisi yang sudah dibentuk oleh Kak Amir. Ketika saya masak dan makan, saya tidak lupa mengajak Cho. Di meja makan tempat saya selalu duduk dan berbincang-bincang dengan Cho, meski dengan penguasaan Bahasa Belanda yang mepet, saya sediakan buah-buahan dan roti kering. Saya merasa saya memiliki seorang ayah di Belanda. Saya menjadi temannya berbicara, sambil saya belajar Bahasa Belanda secara gratis. Saya juga memastikan bahwa Cho selalu kenyang dengan mengajaknya makan bersama. Ketika saya pergi, saya sengaja berbelanja roti dan buah supaya bisa dimakan Cho sembari dia menonton televisi.

Rasanya sangat bahagia setelah Cho melahap habis setiap makanan yang dihidangkan. Ucapan "lekker" dan "goed gesmaakt" selalu hadir ketika menyantap nasi, sayur dan lauk-pauk yang dimasak. Suatu kali Cho pernah bertanya apakah perlu membayar untuk makanan yang dimakannya. Saya menjawab tidak perlu. Saya bahagia bisa membahagiakan orang lain, dan bahagia seperti ini dimulai ketika bulan puasa tahun ini dan akan terus berlanjut pada  bulan-bulan berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun