Tantangan ke depan menuntut pendidikan Aceh untuk bertransformasi. Abad 21 adalah era kompetisi global yang menuntut keterampilan berbeda dari generasi sebelumnya. Di sinilah pentingnya menerapkan kurikulum baru yang tetapkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yaitu pendekatan deep learning di sekolah dan madrasah.
Deep learning dalam konteks pendidikan bukan sekadar menghafal fakta, tetapi mendorong siswa untuk memahami konsep secara mendalam, mampu menganalisis masalah, berkolaborasi, berkomunikasi efektif, serta melatih kreativitas. Ini sejalan dengan enam kompetensi inti pembelajaran abad 21: critical thinking, collaboration, creativity, communication, character, and citizenship.
Bagi sekolah dan madrasah di Aceh, pendekatan ini sangat relevan. Misalnya, Siswa tidak hanya belajar rumus matematika, tetapi juga menggunakannya untuk memecahkan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran IPA tidak lagi sebatas eksperimen di laboratorium, tetapi dihubungkan dengan isu lingkungan Aceh seperti hutan, laut, dan energi terbarukan. Pembelajaran PPKN dan Pendidikan Agama tidak hanya berbicara norma, tetapi juga melatih siswa berdialog, toleransi, dan menjadi warga negara yang aktif.
Selain itu, Aceh juga perlu menyambut inovasi seperti Kurikulum Cinta yang cetuskan oleh Kementerian Agan yang menekankan pembelajaran dengan kasih sayang, empati, dan kepedulian. Sekolah dan madrasah di Aceh dapat mengadopsinya sebagai penguat karakter, bersanding dengan muatan lokal syariat Islam. Dengan begitu, siswa Aceh tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki hati yang peduli pada sesama dan lingkungan.
Transformasi pendidikan Aceh di masa depan harus diarahkan pada beberapa strategi besar, mulai dari peningkatan kualitas guru melalui pelatihan agar mampu menerapkan pembelajaran berbasis deep learning, literasi digital, dan pedagogi kreatif. Guru yang berdaya akan melahirkan murid yang berdaya. Kemudian Digitalisasi sekolah dan madrasah Internet cepat, perangkat teknologi, dan konten pembelajaran digital harus tersedia merata, tidak hanya di kota tetapi juga hingga pelosok Aceh. Selanjutnya pendidikan inklusif, anak-anak berkebutuhan khusus maupun anak di daerah terpencil harus memiliki akses pendidikan yang sama. Tidak boleh ada generasi yang tertinggal karena faktor lokasi atau kondisi fisik. Kolaborasi lintas sektor, dunia pendidikan harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat agar pendidikan benar-benar menjadi gerakan bersama. Terakhir pembangunan karakter Islami dan budaya lokal, pendidikan Aceh harus tetap berakar pada syariat dan budaya, tetapi bersifat terbuka untuk perkembangan ilmu pengetahuan global.
Penutup
Refleksi Hardikda ke-66 mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah pondasi masa depan Aceh. Meski sudah banyak pencapaian, realita hari ini masih menunjukkan banyak tantangan yang harus dihadapi. Mutu pendidikan Aceh belum sepenuhnya mampu bersaing di tingkat nasional, apalagi global.
Namun, Aceh memiliki modal besar: dana Otsus, muatan lokal syariat, dan tradisi panjang dalam dunia pendidikan. Jika dikelola dengan visi yang jelas, Aceh bisa membangun sistem pendidikan yang Islami, modern, dan berdaya saing. Pendekatan deep learning di sekolah dan madrasah menjadi jalan penting agar siswa Aceh tidak hanya pandai menghafal, tetapi juga kritis, kreatif, peduli, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.
Hardikda bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi momentum untuk meneguhkan komitmen. Saatnya Aceh menjadikan pendidikan sebagai investasi utama, bukan beban anggaran. Dengan pendidikan yang kuat, Aceh akan kembali dikenal sebagai pusat ilmu, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di mata dunia.
*) Penulis Guru MAN 1 Aceh Besar, Ketua MGMP Seni Budaya MA Aceh Besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI