Pendahuluan
Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses mentransfer pengetahuan dari guru ke murid, tetapi merupakan upaya membentuk manusia agar mampu memahami dan menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Dalam dunia pendidikan modern yang sarat dengan teknologi, ujian, dan target kurikulum, sering kali esensi dari proses belajar itu sendiri terlupakan: belajar untuk hidup di dunia nyata.
Kita hidup di zaman di mana anak-anak mampu menghafal rumus dan istilah ilmiah, tetapi kesulitan menerapkannya dalam situasi kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin dapat menjelaskan konsep gravitasi, namun tidak memahami bagaimana prinsip itu memengaruhi gerakan tubuh saat bermain bola. Mereka mungkin pandai menulis esai teoritis, tetapi bingung ketika harus menulis surat lamaran kerja atau proposal kegiatan.
Kesenjangan antara teori dan praktik, antara pengetahuan dan kenyataan, semakin jelas terlihat. Di sinilah filsafat realisme menawarkan jalan tengah yang bijaksana. Realisme menegaskan bahwa dunia ini benar-benar ada di luar pikiran kita, dan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui pengalaman langsung terhadap dunia tersebut. Dengan kata lain, untuk memahami kehidupan, manusia harus belajar dari dunia nyata.
Pendidikan yang berlandaskan realisme menekankan bahwa siswa harus berinteraksi dengan realitas , yakni mengamati, bereksperimen, berdialog, dan memaknai pengalaman yang mereka temui. Hanya dengan demikian proses belajar menjadi benar-benar realistis, kontekstual, dan bermakna.
Latar Belakang
Filsafat realisme muncul sebagai reaksi terhadap idealisme yang terlalu menekankan dunia ide atau pikiran sebagai sumber pengetahuan. Tokoh-tokoh seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, dan para pemikir pendidikan abad modern seperti John Locke dan John Dewey percaya bahwa dunia nyata memiliki keberadaan yang objektif. Tugas manusia bukan menciptakan realitas, melainkan menemukan dan memahami hukum-hukumnya melalui pengalaman dan rasionalitas.
Dalam pandangan realisme, pendidikan bertujuan membantu manusia menyesuaikan diri dengan realitas baik realitas alam, sosial, maupun moral. Pendidikan bukan hanya membentuk pemikiran abstrak, tetapi juga kemampuan bertindak sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, belajar tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita menengok praktik pendidikan di Indonesia, masih banyak pembelajaran yang bersifat verbalistik dan hafalan. Anak-anak sibuk mengejar nilai, mengerjakan soal pilihan ganda, tetapi kurang diberi ruang untuk bereksperimen dan berinteraksi dengan kehidupan nyata. Kurikulum sering kali padat dengan teori, tetapi minim pada konteks aplikasi.
Misalnya, siswa diajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi jarang diajak turun langsung melakukan aksi bersih pantai atau menanam pohon. Mereka belajar tentang ekonomi, tetapi tidak pernah diajak melihat bagaimana pasar rakyat berfungsi. Situasi seperti ini membuat proses belajar kehilangan makna, karena tidak menyentuh realitas yang sesungguhnya.
Filsafat realisme hadir untuk mengingatkan bahwa pendidikan yang baik bukanlah yang paling banyak mengajarkan teori, melainkan yang menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman hidup. Di sinilah makna "belajar dari dunia nyata" menjadi sangat relevan.