Mohon tunggu...
Win WanNur
Win WanNur Mohon Tunggu... Freelancer - Kopi dan Traveling

Pembaca kompas yang menulis novel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wishnutama, Menteri (yang masih) Nol Prestasi Sarat Kontroversi

19 November 2019   23:45 Diperbarui: 19 November 2019   23:52 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah sebelumnya membuat heboh dengan pernyataan kontroversialnya tentang menyulap Toba dan Bali jadi lebih ramah wisatawan muslim. Kini menteri pariwisata di kabinet Jokowi pada masa kepresidenannya yang kedua yang sejak dilantik belum punya prestasi apa-apa ini kembali membuat huru-hara dengan kontroversi yang membuat kita  merasa ngeri-ngeri sedap terhadap nasib pariwisata Indonesia di bawah kendalinya.

Kali ini, dalam artikel yang dimuat Merdeka dot com Senin, 18 November 2019 16:01 https://www.merdeka.com/uang/banting-setir-pariwisata-indonesia-di-bawah-kendali-wishnutama.html  

Menteri berwajah tampan ini mengatakan,  di bawah kepemimpinannya, stretegi pariwisata Indonesia akan berfokus pada wisatawan premium atau berkualitas ketimbang pariwisata massal berbasis kuantitas. Wishnutama juga menegaskan ingin turis asing yang datang ke Indonesia adalah wisman dengan kualitas premium.

"Wisman yang datang ke Indonesia pertahun lebih banyak, tetapi pengeluaran lebih sedikit. Meningkatkan kualitas wisatawan yang datang ke Indonesia itu lebih penting, sehingga pengeluaran mereka pada saat di Indonesia lebih tinggi," ujarnya.

Well, entah lupa atau memang tak paham, entah Wishnutama, menteri muda yang cerdas dan ganteng ini tidak tahu atau tahu tapi tak peduli adanya fakta bahwa selain urusan banyak sedikitnya pengeluaran. Berbicara pariwisata juga tidak bisa dilepaskan dari urusan pemerataan ekonomi.

Satu keunggulan industri pariwisata yang tidak dimiliki oleh industri lain adalah sifatnya yang secara langsung memberikan pemerataan ekonomi sejak dari sumber pertama. 

Seorang turis yang datang ke satu negara, dia tidak hanya membelanjakan uangnya untuk tiket perjalanan dan hotel. Tapi uang dari kantongnya secara langsung mengalir ke berbagai pihak dari yang paling besar ke yang paling kecil. Inilah sebabnya mengapa perkembangan pariwisata bisa secara signifikan menaikkan taraf hidup masyarakat di daerah tujuan wisata.

Contohnya seperti yang kita lihat sekarang di Bali, bagaimana kehadiran pariwisata telah memberi kehidupan bagi orang di semua kalangan. Selain para investor besar yang menguasai hotel dan restoran premium, cipratan dollar dan euro dari wisatawan juga secara langsung dinikmati oleh tukang pijat pinggir pantai, pedagang acung, penyewaan motor, sopir dan pemandu wisata sampai pengrajin.

Di Bali, cipratan dollar dan euro yang mengalir langsung ke masyarakat non investor besar ini juga dibelanjakan langsung di tempat. Sehingga ekonomi lokal kembali hidup melalui jasa penyewaan kos, warung tegal, tukang bakso, pedagang makanan, pedagang sayur, ikan dan seterusnya. Yang dari mereka kembali mengalir ke petani yang produknya jadi sangat dibutuhkan karena adanya daya beli yang kuat dari masyarakat.

Kembali ke pernyataan Wishnutama di Merdeka, di situ kita bisa melihat sendiri bagaimana Wishnutama, alih-alih mendukung dampak pemerataan ini. Yang ada dia malah membuat strategi yang akan membawa  pariwisata Indonesia kembali ke perspektif kuno ketika pariwisata hanyalah untuk kalangan berduit. Dari, oleh dan hanya untuk orang kaya.

Wishnutama bersabda, dia fokus untuk menggarap wisman berkualitas dengan tingkat pengeluaran yang lebih tinggi sehingga diharapkan bisa menggenjot penerimaan devisa negara dari sektor pariwisata.

O.K, itu sah-sah saja sebagai sebuah gagasan.

Tapi terdengar konyol ketika pria yang akrab dipanggil Tama itu membandingkan kualitas turis asing di Indonesia dan Selandia Baru.

"Sekarang spending wisman di kita kira-kira USD 1.220, Selandia Baru hampir USD 5.000 per kedatangan, artinya apa? Kualitas wisatawan yang datang ke Selandia Baru lebih tinggi walaupun jumlah wisatawannya cuma empat juta," katanya.

Sekali lagi, sekedar perbandingan sebenarnya ini sah-sah saja. Tapi  ya tentu saja konyol namanya kalau pembandingan itu berhenti sampai di jumlah wisatawan yang datang dan berapa yang mereka habiskan selama berwisata. 

Sementara faktor penerimaan masyarakat terhadap wisatawan, fasilitas yang ada, kebersihan, kerapian, keteraturan dan berbagai faktor yang menyebabkan turis-turis kelas premium merasa nyaman di Selandia Baru, sama sekali tidak dipertimbangkan.

O.K, bisa saja ini adalah asumsi saya pribadi bahwa Wishnutama tak mempertimbangkan itu. Tapi sebenarnya menteri tampan nan cerdas ini sudah mempertimbangkan semuanya.

Nah kalau itu benar sudah dipertimbangkan, kitapun jadi bertanya, strategi apa yang sudah disiapkan Wishnutama dalam memodifikasi cara hidup dan mindset masyarakat Indonesia di daerah tujuan wisata dalam waktu singkat supaya bisa seperti Selandia Baru? Bagaimana mereka menangani sampah, rekayasa sosial  seperti apa yang sudah disiapkan Wishnutama supaya masyarakat di daerah tujuan wisata bisa seperti masyarakat Selandia Baru yang tidak membuang sampah sembarangan? 

Rekayasa sosial seperti apa yang sudah disiapkan Wishnutama agar masyarakat tidak menaikkan harga ketika bertemu turis asing? bagaimana soal higienisme makanan dan lain sebagainya.

Memangnya membuat rekayasa sosial yang seekstrim itu bisa dilakukan semudah membalik telapak tangan? 

Tapi sudahlah, asumsikan saja, Wishnutama ini manusia sekelas dewa yang mampu membuat rekayasa sosial seekstrim itu dengan cara saksama dan waktu yang sesingkat-singkatnya, lalu semua berjalan lancar dan wisatawan yang datang ke Indonesia dibatasi dengan wisatawan kelas premium saja.

Dari segi penerimaan devisa, mungkin benar turis kualitas premium ini menghasilkan lebih banyak devisa, meski jumlahnya sedikit. Tapi, dari segi pemerataan dan efeknya terhadap perekonomian lokal jelas sangat kecil.  

Kenapa? Itu karena turis dengan kualitas premium, tentu hanya akan menginap di hotel kelas premium. Hanya akan makan di restoran kelas premium. Hanya akan naik kendaraan kelas premium. Yang semuanya hanya mungkin bisa disediakan oleh orang-orang bermodal besar. Bukan rakyat jelata.

Bahkan lebih buruk lagi, untuk makanan dan konsumsi mereka pun, seringkali bahan-bahannya harus diimpor, bukan produksi lokal. Ya kan tidak mungkin wisatawan kelas premium disuguhi steak daging sapi lokal. Harus impor dong. Juga tidak mungkin mereka disuguhi makanan yang dibuat dengan bahan keju produksi lokal, anggur produksi lokal dan seterusnya. 

Memangnya wisatawan kelas premium itu mau tiap hari disuguhi Hatten dan Sababay? Ya enggaklah, mereka akan minta St Estephe, Poillac, Pomerol sampai Cheval Blanc.

Lalu setelah semua selesai, semua hasil dari uang yang mereka belanjakan secara jor-joran  itu mengalir ke mana? Benar sebagian masuk devisa Negara.  Tapi bagian terbesarnya jelas mengalir ke kantong investor, sebagiannya investor dalam negeri dan tidak sedikit juga investor dalam negeri.

Dampak ekonomi yang didapat oleh masyarakat lokal, tak lebih dari tetesan kecil yang mengalir melalui gaji karyawan yang dipekerjakan sebagai pegawai, baik di hotel maupun restoran. 

Persis seperti dulu di zaman Orde Baru, masyarakat di tepi hutan mendapat manfaat ekonomi dari gaji yang didapat sebagai pekerja level rendahan di perusahaan-perusahaan HPH milik keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.

Dalam strategi pariwisata yang dirancang menteri yang baru ini, rakyat di daerah objek wisata, statusnya tak lebih seperti objek wisata lainnya. Mereka tak lebih sebagai tontonan yang dipaksa untuk bersikap dan berbuat untuk mendukung pariwisata tapi manfaat pariwisata untuk mereka tak perlu ada. 

Dengan strategi model Wishnutama ini rakyat hanya diminta partisipasinya dalam mensukseskan pariwisata tapi sama sekali tidak mendapat manfaat ekonomi darinya.

Cara pikir Wishnutama kita perhatikan persis sama dengan cara pandang Orde Baru yang didukung Mafia Berkeley yang melegenda itu. Demi besarnya devisa yang masuk untuk Negara. Mereka tanpa ampun membatasi penguasaan ekonomi hanya pada kalangan elit bermodal besar saja.

Berdasarkan pernyataannya di Merdeka, tampaknya inilah yang akan kita saksikan terjadi pada pariwisata Indonesia. Di bawah kendali Wishnutama, nikmatnya kue pariwisata dirancang hanya untuk dinikmati oleh kaum bermodal besar saja. Rakyat jelata cukup jadi objek untuk dinikmati para wisatawan dan atas nama nasionalisme, manfaat yang mereka peroleh cukup makan rasa bangga saja sedangkan sanfaat ekonomi, cukup dinikmati kaum berduit dan bermodal saja. 

Lebih parah lagi kalau kebijakan ini juga diterapkan oleh Wishnutama pada daerah-daerah tujuan wisata yang sudah mapan seperti Bali, Lombok dan Jogja. Dengan kebijakan seperti ini (kalau berhasil) memang benar, devisa yang masuk ke negara lebih besar. Tapi ekonomi lokal akan melemah. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya, ketika turis yang datang bukan hanya kelas premium. 

Masyarakat mendapatkan cipratan langsung bisnis pariwisata dari menyewakan motor, menjual makanan, menjual jasa surfing, kepang rambut dan lain sebagainya. Kalau kebijakan ini diberlakukan, semua sumber ekonomi masyarakat kelas bawah yang tumbuh akibat industri ini akan tumbang semua. Pengangguran pun akan meningkat jumlahnya.

Jadi ketika Wishnutama mengatakan "Selama ini, pengembangan pariwisata cenderung ditekankan pada kuantitas dengan target bisa mendatangkan sebanyak-banyaknya wisman. Bahkan pada 2020, sempat ditargetkan pariwisata Indonesia bisa mendatangkan 20 juta wisman." Jelas saat itu dia sama sekali tidak memikirkan dampak pemerataannya.

Sekali lagi, benar 4 juta turis premium seperti di Selandia Baru bisa menghasilkan lebih banyak dibandingkan 20 juta wisatawan dan menghasilkan devisa lebih besar. Tapi kalau kita bicara lebih jauh, 20 juta wisatawan yang datang menyebar di berbagai daerah tujuan wisata di Indonesia, dari Aceh sampai Papua, tentu jauh lebih membawa manfaat pada pertumbuhan ekonomi lokal dibandingkan 4 juta wisatawan kaya yang hanya menumpuk di lima Destinasi Super Prioritas, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.

Jadi ketika kita semua sekarang gonjang-ganjing untuk mewajibkan diajarkannya pelajaran PMP di sekolah mulai jenjang PAUD sampai perguruan tinggi. 

Tampaknya, jenjangnya masih kurang jauh. Karena melihat strategi yang dirancang oleh Wishnutama ini, dibandingkan siswa sekolah justru yang paling mendesak itu pelajaran SMP harus diajarkan pada menteri cabinet Jokowi, terutama menteri pariwisatanya, supaya dia paham kalau semua strategi pembangunan yang diterapkan di Indonesia ini bukan mengacu pada Selandia Baru melainkan pada ideologi Pancasila yang di Sila Kelimanya berbunyi "KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun