Mohon tunggu...
Randika Wildan
Randika Wildan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengarungi Pulau Pari dan Perjuangan Masyarakat untuk Lestari

28 Juni 2018   14:05 Diperbarui: 28 Juni 2018   14:16 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya tulisan ini sengaja di tuangkan oleh masyarakat atas keresahan masyarakat setempat dimana tanah tempat lahir mereka menjadi sengketa dengan Pihak swasta, namun persoalan itu akan saya bahas pada kata-kata selanjutnya. sekarang saya sudah di Bibir Pantai Pasir Perawan, memasuki gapura dari kayu saya disambut oleh seorang pemuda lalu diarahkan untuk menuju Loket berbentuk anyaman dari kayu bambu.

Setelah  itu penjaga tersebut menjelaskan bahwa Pantai perawan menarik biaya Administrasi bagi Pengunjung yang ingin Camping dimana nantinya uang itu akan digunakan pengelola untuk biaya Kebersihan Pantai, penambahan Amenitas pendukung dan Perawatan lainnya, setelah itu selesai di jelaskan maka saya langsung membayar uang Administrasi tersebut dengan Biaya yang saya sendiri lupa nominalnya tetapi seingat saya memang tidak mahal biayanya, Walaupun tahun kemarin terdapat banyak berita atas  dari adanya  Biaya Administrasi tersebut 3 orang ditangkap akibat tuduhan Pungli masyarakat pulau Pari tetap mengelola Pantai Perawan tersebut tanpa adanya bantuan dari Pemerintah sampai kini.

Gambar : pikiranremaja.wordpress.com
Gambar : pikiranremaja.wordpress.com
Suasana Camping di pinggir pantai tersebut amatlah mengasyikan dimana pengunjung tak akan merasa panas biarpun matahari tepat di atas kepala karna pada area kamping tersebut ditanami pohon sehingga sinar matahari tidak langsung menyentuh tenda yang didirikan pengunjung.

Suasana Ramah juga tampak terlihat antara sesama pengunjung yang camping semisalkan berbagi logistik bagi pengunjung yang tak membawanya, selain itu banyak terdapat warung dekat pantai tersebut jadi untuk para wisatawan yang tidak membawa perlengkapan tak perlu khawatir sebab warung-warung tersebut juga menyediakan perlengkapan camping dan juga konsumsi bagi wisatawan yang tidak membawanya.

Soal harga jangan khawatir sebab menurut saya warung di sini tidak seperti kebanyakan warung pada tempat wisata lainnya, soal harga masih masuk akal.

Selang beberapa jam setelah istirahat dan puas merebahkan badan saya berniat menyusuri pantai pasir Perawan tersebut rasanya percuma kalau hanya berdiam diri di tenda saja, pasir yang halus berwarna putih bersahabat sekali menempel pada betis kaki yang tak sabar berlari menyuri pantai megah ini.

Akhirnya berhentilah di salah satu warung yang terdapat seorang bapak tua dengan topi merah dengan kulit khas masyarakat daerah pantai sedang asik menikmati pemandangan didepannya, saya memesan satu gelas teh Dingin sebagai penyejuk kepada pemilik warung tersebut sembari tersenyum dan menyodorkan Rokok kepada bapak tersebut tanda bahwa saya mengajaknya mengisap rokok bersama. Tetapi bapak tersebut menolaknya, alhasil saya bertanya pertanyaan basa-basi khas orang Indonesia mulai dari tempat tinggalnya sampai dengan asal muasal terjadinya pulau Pari dan  dijadikan tempat wisata Sampai saat ini.

Sampai ada suatu jawaban yang menarik terkait pulau Pari tersebut yang saya pikir berkaitan dengan apa yang saya lihat selama perjalanan menuju tempat camping saat ini. Ia mengatakan dengan suara pelan dengan raut muka kesal,"Pulau Pari ini dari Dahulu zaman Hindia Belanda kakek dan Nenek kami sudah menempati Pulau ini sebagai pelarian, belum ada perusahaan yang mengaku-ngaku sebagai pemilik Pulau, sampai-sampai ada salah satu perusahaan yang mengaku atas pulau tersebut, padahal kami masyarakat tidak menjual tanah lahir kami kepada siapapun, sangat tidak adil sekali pemerintah Dek kalau masih berkiblat pada perusahaan itu karna mereka memiliki Uang, teman kami di penjarakan di tuduh pungli oleh mereka padahal jelas itu uang kami gunakan untuk mengelola pulau ini agar wisatawan nyaman bahkan sekelan gubernur dan presiden pun tahu kalo di sisi ada biaya administrasinya, mengapa bisa begitu perusahaan licik sekali, kami di anggap pengemis di tanah sendiri, maka dari itu kami akan melawan dan merebut apa yang sudah menjadi HAK kami".

Sampai hati saya merasa sedih akan ancaman perampasan Ruang hidup masyarakat pada pulau tersebut, saya membayangkan jika saja saya berada pada posisi mereka dengan tanah kelahiran nene moyangnya harus rela minggat meninggalkan tempat itu akibat terusir dan harus menjalani kehidupan selanjutnya di Ibu Kota pasti akan menjadi gelandangan.

Di sana tidak ada ikan yang bisa menghidupi mereka dan keluarganya, apalagi kemampuan yang memadai untuk bekerja di gedung pencakar langit, mereka hidup dalam kebudayaan berlayar mengumpulkan Ikan yang mana kehidupan dilaut memang pantas dijalanya untuk mendapatkan hasil ekonomi, ketika mereka sudah sejahtera dengan kehidupan tersebut lantas ada perusahaan yang mengusik entahlah atau karena Iri.

Akan matikah Generasi Nelayan yang ada pada Pulau Pari tersebut ?atau akankah pihak swasta mengambil alih Peran Pengelolaan yang ada pada Pantai Perawan ?, walaupun pada jawaban akhir dari Bapak tersebut sangat optimis bahwa Rakyat akan menang, dan Mereka akan Berjuang sampai kapanpun mempertahankan Pulau mereka tetapi saya masih saja terus Khawatir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun