Bermula dari keisengan pada suatu sore, saat berbagi pengalaman tentang sakit yang diderita. Oleh saya dan seseorang. Seorang kawan lama yang menderita sakit yang sama. Vertigo namanya. Bukan sakit sebenarnya. Hanya gejala saja. Kadang ringan, kadang berat juga rasanya. Maka jadilah blog itu. Blog sederhana di konten blog tetangga yang mungkin menjadi saingan bagi Kompasiana.
Hingga kini blog itu jadi ajang berbagi. Berbagi kasus dan pengalaman. Berbagi tips hingga memperlebar ajang pertemanan. Juga sumber klarifikasi. Sempat dulu ramai berita tentang vertigo yang dikabarkan menjadi salah satu gejala wajib stroke. Alamak! Langsung takut awak, jadilah informasi dicari dan kemudian diklarifikasi. Dimasukkan dalam media sosial. Dicuitkan via twitter dan kalau perlu linknya disebar juga lewat Instagram.
Tapi itu baru satu contoh. Contoh bagaimana blog bisa menjadi sumber informasi. Yang lebih lama ada lagi. Tentang penyakit yang jadi momok di Papua dan dunia. Indonesia? Masih diam-diam saja. Maksudnya, diam-diam bertambah terus jumlahnya. Namanya penyakit AIDS dengan HIV sebagai penyebabnya. Tapi siapa mau repot? Bilang saja HIV/ AIDS, tak perlu dipisah mana yang penyakit mana pula yang penyebabnya. Kalau mau jujur AIDS tidak pas juga disebut penyakit, karena dia adalah sindrom yaitu kumpulan beberapa penyakit.
Lalu bagaimana dengan blogger? Seiring dengan makin terbukanya arus informasi, blogger dituntut untuk lebih cepat mengikuti perkembangan jaman. Istilahnya adalah kekinian. Blogger kekinian harus selalu terupdate dengan berbagai berita yang tengah hangat. Blogger kekinian bisa saja ikut menggoreng berita itu hingga tetap hangat namun tetap tidak sampai hangus. Tapi, blogger kekinian juga harus paham, ibarat makanan yang terus-menerus dihangatkan lama kelamaan rasanya pasti tidak enak.
Maka, blogger kekinian harus mampu mencari berita, mengangkat berita, dan akhirnya menutup berita dengan klimaks dan akhirnya selesai. Cari berita baru lagi, angkat lagi, angkat hingga ke atas dan tutup dengan baik. Berita apa? Berita baik tentunya. Berita buruk? Boleh saja, asal disertai dengan saran dan solusi. Dengan pendapat dari para ahli. Dengan menyorot dua bidang yang sama sisi, tidak berat salah satu yang akhirnya hanya akan jadi kontradiksi. Berita hoax perlu kah digoreng? Goreng saja tanpa ragu tapi jangan tambah bumbu. Tambah saja tepung dan kasih kuah kaldu agar para pembuat hoax terkepung dan kebenaran saja yang terdengar merdu.
Selain kekinian, peran blogger lainnya adalah dalam kontrol emosi. Blogger yang baik pasti bisa menjaga emosinya dan blogger yang lebih pintar bahkan bisa memainkan emosi orang lain. Pertunjukan emosi ini dapat dengan mudah kita jumpai di kanal kita Kompasiana hingga akhirnya “komentar dihapus.. “ sering menimbulkan tanya para pembaca lainnya. Kenapa harus ada tulisan “komentar dihapus..” tapi nama si pemberi komentar masih ada? Hmmmm.. mungkin admin ingin menunjukkan “ ini loh si pemberi komentar sadis itu… “
Nah, itulah selayang pandang opini saya tentang peran blog dan blogger di era keterbukaan informasi. Perjalanan untuk melawan hoax memang masih panjang tapi harus dilakukan pelan tapi pasti. Semoga artikel ini menyenangkan untuk dibaca dan cukup dianggap berisi dan yang terpenting bermanfaat bagi anda dan saya :)
Salam beyond blogging!