Mohon tunggu...
William Wijaya
William Wijaya Mohon Tunggu... Branding & Marketing Specialist

Docendo discimus

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Masyarakat Marah Akibat "Ketololan" Negara

29 Agustus 2025   10:21 Diperbarui: 29 Agustus 2025   10:21 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahmad Sahroni, Sumber : Kompas.com

Sebelumnya, izinkan saya mengutip kata-kata dari anggota dewan kita yang terhormat, Bapak Ahmad Sahroni: cukup satu kata, "Tolol."

Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan negara kita, Indonesia? Mengapa begitu banyak hal yang terasa aneh, lucu, bahkan tidak masuk logika ketika kita membaca kebijakan maupun pernyataan resmi yang keluar dari pemerintah setiap harinya, Seperti masuk angin, eh bukan! Masuk badai.

Demo yang panas terjadi, sumber : Freepik
Demo yang panas terjadi, sumber : Freepik

Statement yang tidak berdasar, kebijakan yang aneh, hingga aturan yang hanya memperkaya sektor atas sementara sektor bawah semakin ditekan, kebijakan pajak, ekonomi yang lesu, semuanya menimbulkan pertanyaan besar: apakah mereka sudah kehilangan akal sehat? Ataukah karena terlalu banyak menikmati hasil uang rakyat, hingga lupa bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan sekadar fasilitas untuk mengenyangkan diri dan kelompoknya?

DPR malah joget disaat ekonomi lesu dan masyarakat menderita, sumber : Samarinda Pos
DPR malah joget disaat ekonomi lesu dan masyarakat menderita, sumber : Samarinda Pos

Saya sadar, mengelola pemerintahan yang sudah lama dibangun di atas fondasi koruptif tentu bukan perkara mudah. Bahkan untuk meraih kursi tertinggi kekuasaan, kompromi dengan praktik busuk hampir menjadi syarat yang tidak terelakkan. Namun, bila menilik sejarah, kompromi semacam ini pada awalnya juga terjadi di negara-negara besar seperti Tiongkok dan Rusia. Mereka memang harus berdamai dengan oligarki dan kelompok koruptif pada fase awal kekuasaan. Akan tetapi, yang membedakan adalah: setelah kekuasaan menguat, mereka mulai menertibkan, meminggirkan, bahkan menghancurkan dominasi para oligarki.

Dengan kata lain, kompromi di sana hanyalah pintu masuk untuk menguasai negara, bukan jebakan permanen. Sementara di Indonesia, kompromi itu justru menjadi pola yang diwariskan, dipelihara, dan terus-menerus diteruskan antar satu generasi ke generasi lainnya. Pada akhirnya, pertanyaan yang muncul di benak kita adalah: apakah masih ada ruang untuk berharap? Setidaknya sampai akhir tahun ini, akankah kita melihat secercah perbaikan di tengah tumpukan "ketololan" yang terus dipertontonkan?

Ingat harapan itu masih ada, tapi akan semakin teriris dan menipis dengan langkah yang tidak tepat.

Regards,

William

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun