Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perppu Ciptaker Melukai "Hati" Generasi Pekerja Muda Indonesia, Negara Sibuk Mencari Profit

4 Januari 2023   12:56 Diperbarui: 4 Januari 2023   18:26 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Willem Wandik - pengesahan Perppu Ciptaker oleh Presiden telah melukai hati rakyat Indonesia, khususnya angkatan kerja muda Indonesia, yang mengharapkan peran negara menghadirkan "social justice" berdasarkan cita-cita yang sering di dengungkan dalam sila ke 5  pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  

Tentunya "konsepsi keadilan" yang dimaksud adalah berbentuk "kesempatan" untuk memperoleh penghidupan yang layak, melalui sistem rekrutmen tenaga kerja, yang dapat menjadi tumpuan harapan "generasi pekerja" Indonesia, terutama generasi muda Indonesia yang terus tumbuh dengan bakat, keterampilan, kompetensi, pengalaman "lokal/internasional", yang tidak boleh "dimatikan" oleh "keputusan otoritatif" penguasa yang dihari ini hanya berorientasi mengejar "profit/keuntungan" layaknya "Big BOSS" corporate, bukan menjadi sosok pemimpin nasional yang memperhatikan "keberlangsungan" generasi indonesia, untuk hidup layak dan bermartabat..

Perppu Ciptaker secara konstitusional "hukum negara tertinggi = baca konstitusi UUD 1945 = peran Mahkamah Konstitusi", telah diputuskan melanggar dasar-dasar/prinsip konstitusi negara, dan wajib dilakukan perbaikan, dan bukan berarti perbaikan itu hanya sekedar "mencetak" Perppu pengganti, yang di komandoi oleh Presiden, sebab, asal usul UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi, merupakan produk UU yang diputuskan bersama antara Presiden dan Lembaga Parlemen RI.. 

Secara fundamental pembentukan UU, yang dimana esensinya mempengaruhi hajat hidup rakyat banyak, konstitusi Indonesia mensyaratkan adanya persetujuan lembaga parlemen dalam setiap pengajuan rancangan UU, demikian halnya juga berkaitan dengan perbaikan UU Cipta  Kerja yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.. 

Persetujuan lembaga Parlemen dimaksudkan agar Racangan UU yang dibentuk, selain memenuhi prasyarat "menjalankan kewenangan lembaga negara", juga memiliki maksud agar rancangan UU tersebut wajib mengikutsertakan "pendalaman aspirasi dan keinginan rakyat".. Sebab, Rancangan UU ini, berkaitan dengan nasib ratusan juta penduduk Indonesia, bukan sekedar nasib 10 atau 100 pengusaha "Peng-Peng/Penguasa Juncto Pengusaha" daftar orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes.. 

Inilah saatnya, Presiden, para menteri, dan ketua-ketua lembaga tinggi negara, menyatakan "keberpihakannya" kepada rakyat sendiri, inilah saatnya untuk mengatakan "aku Pancasila dan aku Indonesia", dalam konteks dukungan terhadap penciptaan peluang lapangan pekerjaan yang mendukung "keadilan" bagi hak hak buruh Indonesia.. 

Bukankah, para buruh tersebut juga merupakan anak anak kita sendiri, handaitaulan kita sendiri, bagian dari keluarga kita sendiri, yang menjadi obyek atas pemberlakuan UU cipta kerja yang justru tampak "dikerdilkan" dengan tetap diberlakukannya sistem ketenagakerjaan yang justru telah dibatalkan oleh Lembaga Peradilan Indonesia, melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji sah atau tidaknya sebuah UU di Negara Kesatuan Republik Indonesia..

Sebagai bagian dari Delegasi Parlemen RI, Dapil Papua, kami justru merasa heran, mengapa para petinggi eksekutif negara, justru terlihat memaksakan terbitnya Perppu Cipta Kerja yang hanya menjadi "alat neo-kolonialisme" post modernisme, dimana kemampuan "lobi-lobi kekuasaan", "kekuatan kaum pemodal dan berduit" bisa mengalahkan "rasa nasionalisme" seorang pejabat yang berkuasa, dimana hasil kekuasaannya tersebut, justru berasal dari mandataris rakyat yang mayoritas adalah kaum buruh, petani, nelayan dan kelas pekerja dengan upah yang terbilang rendah.. 

Kami hanya berusaha menduga-duga, dengan daya nalar yang rasional, mungkinkah negara Indonesia yang besar ini, bisa berdaulat memutuskan "pemenuhan yang adil dan setara bagi nasib buruh dan kelas pekerja Indonesia", jika Indonesia disaat-saat ini, sedang terbebani dengan utang -piutang "hasil kerjasama" mega proyek yang seharusnya memperhatikan kemampuan keuangan negara, dan tidak mengabaikan prinsip "pembiayaan yang seimbang", berbanding lurus dengan penerimaan negara yang sehat ???..

Ketika melihat APBN di Tahun 2022 yang sebelumnya ditetapkan diangka 2786 Triliun, kemudian membengkak menjadi 3106 Triliun "referensi Perpres No.98), dalam hal kemampuan penerimaan negara yang sempat diumumkan oleh Menteri Keuangan dengan capaian hanya dikisaran 1845 Triliun saja di Tahun 2022 kemarin, maka bisa dipastikan, pengesahan Perppu Cipta Kerja ini, hanya ditujukan untuk "melindungi" aliran dana investasi para pengusaha, demi menjaga margin penerimaan APBN nasional.. 

Apapun yang menjadi "reasoning" Presiden dan tim ekonominya, untuk berpihak pada sisi yang mana, apakah harus memilih berdiri pada sisi pengusaha, investasi, aliran modal, ataukah kesejahteraan para buruh/kelas pekerja, namun satu hal yang tidak boleh dilanggar, bahwa dengan alasan "konstitusi negara", rancangan UU Cipta Kerja itu harusnya dikembalikan ke Parlemen RI, untuk disempurnakan bersama Presiden, dengan memperhatikan aspirasi dan keinginan rakyat Indonesia..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun