Oleh: Willem Wandik S.Sos
Pandemi Covid 19 telah menghadirkan perubahan yang tidak pernah di duga pada semua aspek kehidupan manusia secara meluas (human being world wide)..
Naluri bertahan hidup, mencegah untuk tidak tertular penyakit (morbiditas) hingga menanggulangi masalah darurat klinis pasien yang terinfeksi dengan terus memperbaiki "health care system" di seluruh negara terkena dampak, menjadi standar kebijakan yang di dorong oleh banyak otoritas pemerintah disetiap negara..
Memang tidak mudah menerapkan standar kebijakan di populasi masyarakat dunia yang beragam, dimana setiap negara memiliki masalah regional yang mempengaruhi seberapa efektif kebijakan Pemerintah negaranya berjalan sesuai tujuan rumusan kebijakan, dengan outcome yang clear dan terukur (goals), yaitu tercapainya pengendalian penularan dan menurunnya risiko kematian akibat Covid (morbiditas menurun dan terkendali, serta fatalitas/mortalitas dapat diturunkan secara siginifikan)..
Oleh karena itu, menyikapi keputusan pemerintah untuk melakukan penerapan "new normal life" atau dalam bahasa yang sederhana, "cara hidup baru", harus memperhatikan beberapa syarat penting, yang wajib diterapkan.. Sebab, status Pandemi Covid 19 di Indonesia, belumlah menunjukkan tanda tanda mengalami penurunan kasus (bahkan peak-nya belum terlihat), terlebih lagi risiko untuk menghadapi "second wave pandemi" begitu besar di Indonesia, seperti yang dilansir oleh WHO..
Diagnosis pertama, atas penerapan kebijakan new normal di Indonesia adalah aspek data yang kredibel tentang pencatatan kasus (data surveilans), temuan kasus hasil pelacakan (base on screening dengan alat ukur yang presisi/false negatif/false postif yang rendah/gold standar parameter), yang harus dipastikan terlebih dahulu oleh otoritas kesehatan di setiap Daerah.. Pentingnya data kasus dan hasil pelacakan yang kredibel, adalah untuk memberikan "point of view" kepada Pemerintah, tentang daerah mana saja yang masih berada pada zona "risiko tinggi" penularan Covid, zona moderat, dan bahkan zona risiko rendah..
Letak persoalan pada aspek ini, begitu mengkhawatirkan kita semua, dan juga banyak diamini oleh kalangan pakar dan praktisi kesehatan, dan semoga "koreksi ini" dapat di dengar oleh Pemerintah sebagai masukan yang berharga..
Contoh kasus di Surabaya, dapat memberikan setidak tidaknya referensi "best practice" kepada Pemerintah Pusat, bagaimana secara berulang ulang Gubernur Jatim mendeclare melalui pernyataan Konfress ke publik, bahwa peningkatan kasus di Surabaya dan sekitarnya, merupakan hasil dari perluasan uji swap test (PCR) terhadap cluster kelompok berisiko tinggi (risti) terpapar dengan kasus positif..
Pertanyaan yang paling mendasar untuk dijawab oleh Pemerintah, apakah penerapan uji screening swap test yang dilakukan di Surabaya dan sekitarnya, juga diterapkan di Kota/Kabupaten/Provinsi lainnya di berbagai daerah di Indonesia? Jawabannya pun sampai saat ini tidak pernah dapat di jelaskan..
Faktanya, banyak daerah dengan temuan kasus positif, dibiarkan begitu saja (sebatas pencatatan data, ala kadarnya), konfirmasi swap test hanya dilakukan kepada mereka yang memiliki gejala klinis berat, sedang banyak dari mereka dengan tanpa gejala atau periodisasi inkubasi yang beragam, dibiarkan begitu saja tanpa menerapkan standar screening swap test.. Hasilnya pun bisa ditebak, data kasus dan hasil pelacakan konfirmasi kasus, di berbagai daerah di Indonesia, sebagian besar tidak mampu melacak kondisi kasus yang sebenarnya..
Bahkan banyak tim pakar kesehatan yang menduga bahwa Covid 19 di Indonesia banyak yang under reported..
Jika Pemerinta tidak mengenal dimana zona perangnya, bagaimana bisa pasukan akan bertempur untuk memenangkan perang melawan Covid?..
Narasi berdamai dengan Covid, sepertinya bukanlah literasi yang tepat, sebab, enemy/musuh yang sedang menyerang "immune system" setiap orang di Indonesia, tidak mengenal "nepotisme" persahabatan, tidak mengenal siapa Pejabat maupun rakyat biasa, virus tidak juga tidak mengenal "sistem suap/angpao" untuk menghentikan penularan infeksi, dan Covid-19 bukanlah musuh yang dapat diajak berdiplomasi..
"Hei Covid, untuk sementara kita berdamai dulu ya".. tidak bisa seperti itu.. Narasi berdamai dengan covid, lebih menunjukkan, bahwa Pemerintah kita sudah kehabisan "alat argumentasi", yang biasanya dipakai untuk menyederhanakan (simplifikasi) persoalan, dan berusaha membiarkan masalahnya selesai secara alamiah (tanpa kritik dan koreksi terbuka yang lazimnya terjadi di negara negara demokratis)..
Kabar buruknya, covid 19 tidak akan berdamai dengan Indonesia, dan tidak akan selesai secara alamiah (konfirmasi catatan WHO, covid already endemic in human population, forever... forever.. forever..)..
Key notes dari kami: sebelum menerapkan Kebijakan New Normal Life, Pemerintah wajib memperbaiki data kasus dan pelacakan potensi penularan (dengan metode dan alat ukur yang seragam, reference gold standar), agar para pengambil kebijakan dari level pusat hingga daerah, mengetahui dimana "zona battle field" mereka..
Diagnosis kedua, penerapan kebijakan New Normal Life, merupakan kebijakan dengan syarat "modifikasi perilaku"..
"New Normal" bukan berarti kita semua bebas untuk ngopi di warung, shopping di mall mall, makan di fast food, membawa anak dan family ke bioskop menikmati fillm.. Jika itu yang terjadi, maka definisinya akan berubah menjadi "old normal"..
Penerapan "New Normal" merupakan penerapan "cara hidup baru" yang memungkinkan setiap orang untuk dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang dapat membahayakan kehidupan manusia..
Perlu diingat, potensi "risk to human life" terkait pandemi Covid di Indonesia "masih ada dan belum menghilang".. Tuan masih dapat tertular atau menularkan penyakit Covid ke orang lain di lingkungan sekitar.. Tuan dapat sakit, dengan gejala ringan, atau bahkan dengan gejala klinis berat, dan bahkan bisa tanpa gejala, sesuai reaksi sitem imun setiap orang, namun tetap berpotensi membahayakan orang lain dengan sistem imun yang rendah, dan itu bisa jadi kerabat keluarga terdekat anda..
Oleh karena, "pedoman modifikasi perilaku" saat penerapan New Normal Life diterapkan, harus dibuat dengan standar perilaku yang jelas (boleh atau tidak boleh dilakukan) terhadap masyarakat dengan tingkat pengetahuan, pendidikan, latarbelakang sosial yang beragam di masyarakat..
Dan yang terpenting, garis komando informasi, tidak boleh saling bertentangan antara satu Pejabat di Kementerian A dengan Pejabat di Kementerian B atau yang lainnya..
Pemerintah Indonesia harus membiasakan diri menerapkan "cukup dengan satu narasumber Pemerintah yang perform menyampaikan satu kebijakan pemerintah secara meluas", dan diharapkan kepada mereka yang juga memandang dirinya sebagai bagian dari "penguasa", untuk menahan diri, untuk tidak berbicara, menambah kebingungan di masyarakat..
Sebab, hanya pesan yang jelas dari otoritas yang kredibel dan konsisten lah yang diharapkan dapat menciptakan kepatuhan di masyarakat untuk mau menerapkan modifikasi perilaku baru yang kita sebut "New Normal"..
Ingat, modifikasi perilaku, merupakan pekerjaan yang sulit untuk populasi sebesar Indonesia yang mencapai 260 - 270 juta jiwa.. di tambah lagi faktor "social culture" masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa hidup dengan "pembatasan sosial", cenderung hidup berkelompok, dan mengutamakan interaksi..
Jika kedua diagnosis penerapan Kebijakan New Normal diatas tidak diterapkan dengan baik, maka, garansinya adalah Indonesia akan mengalami ledakan kasus Covid 19 yang tidak akan terkendali, dan seperti memenuhi prediksi banyak pakar tentang potensi Indonesia akan menghadapi "Second Wave" pandemi yang mengerikan.. Wa Wa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI