Dalam narasi pembuka, ijinkan kami untuk mengucapkan selamat atas hasil perjuangan kawan kawan aktivis Prodem Tanah Papua beserta Tim Kuasa Hukum, dan seluruh jejaring Aktivis HAM Tanah Papua - Jakarta, yang telah bekerja dalam keheningan "lockdown" sistem hukum indonesia, ditengah tengah Pandemi Covid 19..
The Jakarta Six Aktivis Prodem Tanah Papua yang menolak peristiwa rasisme di Surabaya diancam pidana kurungan Penjara seumur hidup atau hukuman paling lama 20 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum di PN Jakpus Kemayoran..
Begitulah awal mula perspektif hukum pidana republik dihadapkan pada 6 orang anak muda (terdiri dari 5 orang ras melanesia dan 1 orang ras melayu), dimana perjuangan anak muda ini tidak mengenal hukum kasta politik - conflict yang selama ini selalu dituduhkan kepada setiap orang yang membangun narasi perjuangan equality/justice bagi setiap jengkal identitas konflik di Tanah Papua..
Perjuangan para aktivis prodem Tanah Papua ini kekal dalam ideologi dan idealisme.. anak anak muda ini telah merelakan raga dan syahwat keduniawiannya untuk di penjara dan diadili oleh rezim di republik ini..
Saya pernah beberapa kali mengunjungi anak anak muda ini di penjara, dan sempat menghadiri acara persidangan di PN Jakpus, Kemayoran.. Yang pada saat itu, entah kenapa Hakim Majelis menolak untuk mengadakan persidangan, karena alasan yang sepele, Hakim Majelis tidak menerima para terdakwa yang menggunakan pakaian kebesaran adat noken Tanah Papua, karena dipandang melanggar adat kesopanan dan tradisi persidangan..
Saya pun berfikir, bukankah Indonesia telah merdeka, dan telah mengkodifikasi sistem hukumnya sendiri berdasarkan hukum adat yang berlaku di Indonesia (begitulah asal usul hukum indonesia yang kami baca dari pendapat para pakar), karena sejatinya Indonesia merdeka itu, bukan pemberian gratis dari penjajah, tetapi sebagai hasil perjuangan yang panjang..
Lantas, melihat dan mengenang peristiwa "rasisme" dalam persidangan, membuat saya pun berfikir, apakah Para aktivis prodem asal Tanah Papua memang diadili di negeri kolonial yang memang rasis..Â
Ini pula menjadi sumber pertanyaan terbesar saya, mengapa Lembaga Penegak Hukum justru mengadili aksi menyatakan pendapat di depan umum, terkait masalah rasisme yang menimpa Mahasiswa (i) asal Tanah Papua di Kota Pahlawan Surabaya, yang kemudian kembali terulang di ruang persidangan PN Jakpus Kemayoran..
Itulah ingatan kami, tentang Paradoks hukum republik, yang menimpa 6 orang aktivis prodem Tanah Papua..
Kembali ke memori perjumpaan dipersidangan, saya tidak melihat satupun raut wajah dari ke 6 orang pemuda (i) yang cemberut karena di dakwa pidana makar oleh JPU, apalagi berkeluh kesah dengan pemidanaan dan persidangan yang dihadapi oleh anak anak muda ini..Â
Saya melihat ketenangan jiwa dan pikiran yang tampak dari wajah sumringah mereka, inikah ekspresi yang disebut "kemerdekaan jiwa" itu.. Dimana hukum pidana positif boleh jadi menghukum dan mengadili raga mereka, tetapi Tuhan memberikan mereka kemerdekaan jiwa dan pikiran, dengan hikmat Tuhan yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia yang terlalu cinta pada kekuasaan dan sikap oportunistik..