Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Evidensi yang Objektif

20 Februari 2018   13:42 Diperbarui: 20 Februari 2018   13:50 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menuju kebenaran adalah sebuah proses. Proses yang dimaksud ialah bersifat eksplisit, yakni semakin terang. Kehadiran pengetahuan menyadarkan hal yang sangat mendasar tentang budi kita sebagai manusia. Resiko untuk keliru terdapat pada setiap keputusan. Suatu keputusan kadang disebut "subjektif". Kata subjektif kalau bertentangan dengan objektif berarti bahwa pengetahuan itu tidak berdasar pada kenyataan. 

Pengetahuan melulu bersifat subjektif tidak dapat dipertanggunjawabkan. Namun demikian, subjektif tidak sama dengan "melulu" subyektif yang kita sebut subjektivisme dan bertentangan dengan objektif. Pengetahuan adalah kegiatan subjek maka relasi kepada subjek termasuk hakikat segala pengetahuan kita. Subjektif dalam arti ini tidak meniadakan objektifitasnya. Segala kebenaran bersifat mutlak dan relatif. 

Paradoks ini hadir dalam segala kebenaran, di mana unsur subjektif (relasi kepada subjek) dan unsur objektif (sesuai dengan kenyataan) khas untuk semua keputusan yang benar. Kalau kata subjektif dipertentangkan dengan objektif, subjektif sama dengan "tidak berdasar pada kenyataan." Dasar kepastian bukanlah kenyataan yang menyatakan diri, melainkan perasaan subjek. Pengetahuan yang hanya benar untuk saya (subjektivisme) atau hanya untuk manusia (historisisme) atau hanya karena demikian manusia berpikir (Kant) sama saja dengan "tidak benar". Kalau misalnya eksistensi Allah hanya benar bagi individu tertentu atau hanya berpikir", jelaslah bahwa Allah yang demikian itu tidak pantas disembah. 

Dasar kebenaran ketuhanan seharusnya kenyataan yang mengatakan bahwa "dasar cukup" tidak ditemukan dalam kenyataan dunia. Prinsip metafisika "dasar cukup" yang tidak membutuhkan lagi dasar cukup di luar dirinya". Itulah yang kita sebut Tuhan! Kalau Allah sebagai "dasar cukup" menarik diri, saya menjadi "tidak ada". Kenyataan dunia hanya masuk akal berkat eksistensi Allah, God is. Hanya Allah yang sungguh-sungguh "kenyataan" dan dasar segala kenyataan dan karena itu kita berlutut dan bersembah sujud. Allah di sini bukanlah ciptaan manusia. Dasar kebenaran "evidensi yang objektif". Hanya evidensi yang objektif yang bisa menjadi tolok ukur pengetahuan yang benar. (RoJa)

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun